top of page
BOOK 1: THE FARTHEST

Chapter 0:

The Farthest Sky

Any resemblance to real persons or other real-life entities is purely coincidental. All characters and other entities appearing in this work are fictitious. Any resemblance to real persons, dead or alive, or other real-life entities, past or present, is purely coincidental.

Pagi dan teh, kombinasi yang sangat cocok untuk mengawali hari. Ryusen menyeruput teh hangat yang dibuat ayahnya, sembari menyipitkan mata guna melihat pandangan terjauh di ujung sana. Menyadari hal tersebut, sang ayah berkata, “Apakah sudah waktunya?”. Ryu menengok ke ayahnya yang sudah berdiri terlebih dahulu, tak ingin beranjak namun hanya berdiri saja. “Ayah, bagaimana jika aku tak kembali?” “Hanya ada dua kemungkinan, Ryu. Entah kau mati atau berhasil menemukan kebahagiaanmu di sana.” Ryu terkesiap, langsung memeluk ayahnya, orang tua satu-satunya yang tersisa. Pelukannya hangat, apakah ini akan menjadi terakhir kalinya?

 

Kinasle berlari tergesa gesa menuju tepi desanya. Pagi itu matahari bersinar cerah, memangkas jarak antara dirinya dengan kabut dan awan hanya untuk menyapa Asle. Asle mencoba untuk mengenakan kalung udara yang ia miliki, sambil berlari. Tak peduli matahari yang menemani, ia tetap fokus pada kalung udaranya. Setelah sampai di tepi desa, ia mencari seorang teman yang ternyata belum ada nampaknya. “Baiklah, sepertinya aku masih punya waktu untuk benar-benar memasang kalung ini.” Tiba-tiba suara yang familiar didengarnya, “Kau pernah berpikir tidak kalau kita berlatih lebih keras lagi, kita bisa punya kekuatan yang cukup untuk pergi ke tempat itu hanya dengan satu kali loncatan?”, ah Ryusen ternyata. “Jika manusia biasa seperti kita bisa melakukannya, tempat itu tidak mungkin disebut ‘terjauh’ kau tahu itu.” Percakapan itu menjadi sapaan bagi mereka, yang kemudian dilanjutkan dengan menatap sekeliling dari tepi desa, tempat mereka sekarang berada. Pulau sabit yang melayang, burung-burung berterbangan, dan matahari yang juga menampakkan cerianya ; ketiga hal tersebut yang menjadi objek tatapan Ryu dan Kinasle.

 

“Kina, apakah menurutmu kau akan menemukan yang kau cari di sana?”, tanya Ryu. “Ah tak usah khawatirkan aku, yang aku cari kan sesuatu yang berwujud nyata. Sesuatu yang sepenuhnya akan benar-benar membuatku bahagia. Lebih baik kau tanyakan itu pada dirimu sendiri, apa yang kau mau. Selama ini kau hanya mengatakan bahwa kau ingin bahagia, tapi kebahagiaan itu sendiri kau tak tahu apa.” Ledek Asle. “Bukan kah itu intinya? Tujuan kita kesana untuk mencapai kebahagiaan, kan?” “Ya, ya, ya, aku tahu. Inti dan tujuannya adalah kita akan bahagia.” Kinasle mengakhiri pembicaraan ini dan mereka bersama-sama mengenakan kalung udara.

 

“Hey Ryu, kau makan apa sarapan tadi? Kau tahu kan kita tidak bisa bawa persediaan makanan? Aku benar-benar tidak menyangka kalau ini akan menjadi makanan terakhir yang kumakan dari kampung halaman kita.”, ucap Asle. “Tadi aku minum teh. Ya, aku tahu. Sepertinya kita harus berburu burung untuk makan di perjalanan sana. Omong-omong, ‘ini’ apa yang kau maksud?”, tanya Ryu sedikit bingung. “Oh, orang tua ku sebenarnya membawakan bekal untuk perjalanan hari pertama kita.” “Benar-benar ya, kau bilang kita tidak bisa membawa persediaan makanan. Tapi kau malah membawa makan siang.”


Ryusen dan Asle adalah dua orang yang sudah berteman sejak balita. Ya, sebenarnya panggil saja Asle. Kina adalah nama panggilan yang dibuat Ryusen untuk Kinasle, entah mengapa. Sejak dulu hingga sekarang mereka selalu bertanya-tanya tentang kebahagiaan yang sebenarnya. Saat ini mereka sedang berpetualang mencari kebahagiaan tersebut. Ada sebuah mitos yang mengatakan bahwa di ujung langit yang jauh dari pandangan mata terdapat sebuah tempat di mana kebahagiaan tersebut tinggal. Itu lah tempat di mana mereka akan menemukan kebahagiaan, di Langit Tenggelam yang Paling Jauh. Mereka berdua tinggal di desa kecil di langit. Orang tua mereka membiarkan mereka pergi karena mereka telah ahli dalam menggunakan kalung udara yang bisa membuat mereka terbang. Sama seperti berlari, kemampuan mereka untuk terbang bergantung pada stamina tubuh yang dimiliki. Jika Asle bermaksud mencari emas atau uang sebagai wujud kebahagiaannya, Ryusen bahkan tidak tahu apa kebahagiaan yang dicarinya. Ryusen berharap dengan menemukan tempat itu ia dapat pula menemukan apa itu kebahagiaannya.

album art c 4.png
bottom of page