top of page
BOOK 2: THE SUNKEN

Chapter 8:

mistake

Satu tahun berlalu.

Semuanya masih berjalan seperti biasa. Saat ini aku sedang berjalan untuk menjemput Kina di kantornya lalu pergi ke rooftop. Tetapi hari ini aku merasa sedikit tidak enak, mungkin karena cuaca? Karena musim hujan akan segera datang. Hm, tapi kupikir lagi perasaan ini bukan disebabkan dari tubuhku. Ini berasal dari, pikiranku? Aku tidak tahu persis. Setelah berkutat dengan memikirkan perasaan aneh ini, ternyata aku sudah sampai di kantor Kina. Ia sudah menunggu di depan gerbang, cantik seperti biasa. “Maaf aku agak telat. Hari ini kedai cukup ramai, sudah lama menunggu?”, tanyaku. “Tidak kok. Tidak apa apa, hari ini memang kerjaanku juga selesai lebih cepat.”, jawabnya sambil tersenyum. “Oke. Yuk?”, aku membuka lenganku dan ia pun menyambut dengan lengannya.

Sesampainya kami di rooftop, Kina duduk di sofa dan mulai menceritakan tentang pekerjaannya minggu ini. Aku memperhatikan setiap kata yang diucapkan sembari menyiram tanaman di sini. Tetapi sesuatu terasa berbeda. Meskipun ia sedang menceritakan hari-harinya, aku menyadari bahwa cara ia bercerita hari ini tidak seramai biasanya. Ia lalu berhenti bercerita dan terdiam, mengalihkan pandangan pada bentangan langit biru di atas sana. “Kina.”, panggilku. Tatapannya yang kosong langsung buyar karena panggilanku dan ia pun menengok. “Kau baik-baik saja? Ada apa, Kina? Apa kau ingin membicarakan sesuatu?”, aku menghujaminya dengan pertanyaan. “Wow, sejak kapan kau jadi berisik begini?”, “Aku hanya khawatir..”, “Tak apa. Aku baik, Ryu.”, ia tesenyum tipis. Melihatnya tersenyum membuatku sadar bahwa sepertinya aku yang sedang terjebak dalam perasaaan aneh yang kurasakan sejak tadi sore berjalan menjemput Kina. ‘Apa cuma aku atau dia juga merasakan yang sama?’, tanyaku dalam hati. Namun semakin aku memikirkannya, semakin pula aku mencoba untuk menepisnya. “Oh, aku tahu. Kau mau teh?”, “tidak”, “kopi?”, “tidak.”, “minuman apapun?”, “tidak. Aku sedang tak ingin minum.”, “kalau begitu, snack? Kue?”, “tidak.”, “bagaimana kalau es krim?”, “tidak.”, “Huh, biasanya kau tidak pernah menolak es krim?”, “haha, tidak Ryu aku sedang tidak mau.”. Aku menghela napas, “Oke aku menyerah. Lalu apa yang kau inginkan, Kina?”, tanyaku mulai putus asa. Kina lalu tersenyum, membangkitkan dirinya dari sofa, dan berjalan ke arahku. Ia mengalungkan tangannya di leherku, senyumnya berubah. “Perhatianmu.”, “Eh? Eh tunggu, tunggu du—“

 

Satu bulan berlalu.

Perasaan ini lagi, aku sadar aku pernah merasakan ini sebelumnya. Tetapi kapan? Mengapa aku terus merasakan perasaan yang aneh ini? Namun sekali lagi, aku tidak bisa benar-benar memahami apa isi hatiku, apa yang menyebabkan perasaan ini, bahkan apa perasaan ini sebenarnya. Apa? Ini sangat jelas bukan rasa sedih. Malah aku seharusnya berada di ruang kebahagiaan yang nyata. Lalu apa ini?

“Tuan muda, tuan muda, tuan muda! Ada beberapa pelanggan lagi yang baru datang, haruskah kita memasukkannya ke daftar tunggu?”, Pak Tekkai datang membuyarkan pikiranku. “Oh maaf, Pak Tekkai. Tolong periksa dulu daftar tunggunya, jika sudah terlalu banyak maka katakana ke mereka bahwa lebih baik pindah mencari kedai lain.”, jawabku. “Baiklah.”, ucap Pak Tekkai yang lalu kembali ke depan kedai di mana pelanggan menunggu. Hari ini kedai lebih ramai dari biasanya. Pada saat saat ini, keramaian yang biasa terjadi itu saat jam sibuk. Tetapi hari ini memang benar-benar lebih ramai daripada saat itu. Aku mencoba untuk kembali fokus dan membuatkan beberapa pesanan yang sudah menunggu. Setelah semua pesanan terlayani, aku dan Pak Tekkai duduk sebentar. “Kerja bagus hari ini, Pak Tekkai.”, aku memuji kinerja Pak Tekkai yang sangat baik. “Kau juga melaksanakan semuanya dengan baik, tuan muda.”, “Tidak tidak. Aku tidak merasa seperti itu. Aku pikir hari ini aku kurang baik dalam bekeja.”, ucapku sambil tertawa sedikit dan menyingkirkan keringat yang bercucur di dahi. Pak Tekkai lalu seperti mengamati pikiranku, “Sesuatu mengganggu pikiranmu, tuan muda?”, tanyanya. “Uh, entahlah. Lupakan saja, aku akan menjemput Kina dan sebenarnya berniat membawanya ke sini. Titip kedai dulu ya!”, “Tentu saja.”, jawabnya.

Beberapa saat setelah aku menjemput Kina, kami sudah sampai di kedai. “Selamat sore, pak Tekkai!”, Kina menyapa Tekkai. “Selamat sore, Kinasle.”, jawabnya santai. “Pak Tekkai, bisakah tolong buatkan kamu dua cangkir teh?”, kataku sambil duduk bersama Kina. Aneh, biasanya Kina akan mulai berisik menceritakan apapun yang ia pikirkan tetapi kali ini ia diam saja. “Kina?”, aku menyudahi lamunannya. “Oh maaf. Ada apa, Ryu?”, “Kau tak apa?”, “Mengapa akhir-akhir ini kau jadi sering menanyakan itu?”, “Ya.. Habisnya kau terlihat tidak baik-baik saja.”, “Aku baik, Ryu. Hanya sedikit merasa tidak enak saja karena musim hujan ini.”. Yang ia bicarakan bahkan sama persis dengan yang kukatakan pada Pak Tekkai ketika ia bertanya padaku. “Ya sudah. Maaf kalau aku terlalu rewel, aku hanya khawatir denganmu. Jika ada sesuatu yang ingin kau katakan, katakan saja ya?”, “Iya, Ryu. Terima kasih sudah mempedulikanku.”, ucapnya dengan senyum.

“Dua cangkir teh untuk tuan muda dan Kinasle.”, ucap Tekkai selagi meletakkan teh kami di meja. Hanya dengan ucapannya saja tiba-tiba suasana di sini berubah. “Haha. Yang benar saja, Ryu? Kau masih saja menggunakan panggilan itu di sini?”, Kina benar-benar meledekku. “Hey! Aku bahkan tidak setuju dengan itu tapi Pak Tekkai yang memaksa!”, “Hahaha, ya ya ya.”, jawab Kina dengan nada sarkas sambil menyeruput tehnya. Tak kusadar aku sedikit tersenyum. Setelah percakapan sedikit antara kami usai, keheningan kembali menyeruak. Ketika aku memperhatikan kekasihku, justru ada perasaan aneh yang kembali muncul. Aku menetak-netakkan jariku sembari meminum the. Rasa ini, seperti pernah kurasakan sebelumnya. Rasanya seperti aku dikelilingi oleh sesuatu yang mengganggu, atau mungkin perasaan yang mengganggu itu ada dari dalam diriku. Aku menatap Kinasle, ia terlihat cantik seperti biasanya, tetapi bisa kusadari ada senyumnya yang berkurang akhir-akhir ini. “Ryu, aku—“, ia berhenti sejenak. Wajahku menampakkan isyarat untuknya melanjutkan kalimat itu, “Aku— menyayangimu.”, Kina tersenyum ringan, tetapi terlihat seperti senyum yang berusaha menutupi suatu masalah. Ada perasaan sedih yang terpancar dari senyumnya itu. Apakah hanya perasaanku saja? “Aku juga menyayangimu, Kina.”, balasku.

Satu minggu berlalu.

 

*Tap tap*, aku berjalan perlahan menuju kantor Kina untuk menjemputnya. Perasaan ini, yang kurasakan semakin jelas seiring berjalannya waktu. Aku seperti bisa mulai menerka dan mengetahui perasaan apa ini. Aku tidak yakin memiliki keberanian yang cukup untuk memberitahu Kina, tetapi….. aku harus memberitahunya. Ia berhak untuk tahu. Perasaan ini adalah perasaan yang terus menekan diriku setiap hari. Perasaan ini kerap muncul ke permukaan karena aku yang tidak pernah mengutarakannya, malah selalu kucoba untuk kubur dalam-dalam. Aku harus memberitahunya.

Oh? Aku yang daritadi sibuk bergulat dengan hatiku tidak sadar bahwa ternyata aku sudah sampai. Aku datang tepat waktu. Aku menengok ke langit yang saat ini tak begitu cerah, sepertinya malam nanti akan hujan. Lagi dan lagi, dengan kesendirian dan suasana seperti ini aku kembali tenggelam dalam pikiranku. Aku tahu bahwa aku harus memberitahu Kina soal perasaanku, itu semua lebih baik daripada aku pendam sendiri. Aku akan menghargai segala respon yang nanti ia berikan, karena aku sayang padanya.

“Tuan Harunakata?”, Tiba-tiba seseorang membuyarkan lamunanku namun sudah jelas orang itu bukan Kina. Ah ternyata itu seorang staff dari front-desk yang hendak pulang ke rumah. “Iya? Apa ada yang bisa kubantu?”, jawabku. “Apakah kau di sini sedang menunggu Nona Sirenetaki?”, “Ah iya. Apa kau tau ia di mana?”, “Sepertinya ia sudah pulang sekitar satu jam yang lalu. Aku melihatnya tadi. Kupikir ia sudah mengabarimu.”, jawab staff itu. Oh? Aku terdiam sesaat. “Tidak, ia belum mengabariku. Mungkin ia sedang merasa tak enak badan jadi perlu pulang lebih awal. Terima kasih sudah memberitahuku.”, balasku. “Tadi sih memang ia terlihat kurang sehat hari ini. Baiklah, aku permisi ya.”, “Ya tentu. Terima kasih, hati-hati di jalan.”. Setelahnya staff itu pergi. Aku pun mengecek jam, betapa terkejutnya aku ternyata sudah menunggu di sini selama satu jam.

Dalam perjalanan pulang aku terus memikirkan Kina. Apakah ia baik-baik saja? Rasanya aku ingin mengecek kondisinya. Haruskah aku? Um, sepertinya tidak dulu. Ia butuh istirahat, aku harap ia baik-baik saja. Aku akan memberitahu apa yang kurasakan nanti. Istirahat yang cukup, Kina.

Satu hari berlalu.

Aku ingin menemuinya. Aku ingin mengecek kondisinya. Aku ingin berada di sampingnya. Aku ingin memberitahunya semua hal yang kupikirkan belakangan ini. Hari ini kedai juga nampak lebih ramai dari biasanya. Aku dan Pak Tekkai jadi lebih sibuk hari ini. Tapi hari ini, hanya hari ini saja aku akan bersikap egois. “Pak Tekkai, maaf jika aku lancing, tapi sepertinya aku harus pergi dari kedai lebih awal, aku ingin –“, “Pergilah. Kau pasti khawatir padanya, kan? Pergilah tuan muda.” Tekkai memotong ucapanku. “Terima kasih, terima kasih banyak karena sudah mengerti. Besok kau boleh mengambil jatah libur.”, ucapku lalu bergegas pergi ke kantor Kina. Setelah sampai, tanpa kusadari aku langsung bertanya ke front-desk di mana Kina berada. Tetapi wanita yang sama dengan staff yang memberitahuku sore itu kembali mengatakan bahwa Kina sudah pulang kurang lebih 10 menit yang lalu. Lagi? Kina, ada apa? Apakah kau baik saja? Aku menghela napas dan mengaturnya kembali sebelum akhirnya berlari ke apartemennya. Aku khawatir sekali.

Setelah berlalu dengan cukup terburu, aku sampai di depan pintu apartemen Kina. Sepertinya ini kali pertama aku datang ke sini setelah terakhir dulu membantunya pindahan. Tanganku sedikit bergetar, aku merasa gugup dan ragu untuk mengetuk pintunya. Namun aku harus berani, akhirnya kuketuk pintu itu. Tak lama ia membuka pintunya. “Ryu? Kok di sini? Mengapa napasmu terengah?”, tanya Kinasle dengan penuh kebingungan. “Aku—aku ingin menemuimu.”, ucapku sambil tersenyum. “Tunggu di sini, di dalam agak berantakan. Sebentar.”, ucapnya lalu menutup pintu lagi. Setelah kurang lebih 4 menit ia akhirnya mempersilakanku masuk. Aku duduk di lantai, di depan meja kecil. Kina menyuguhkanku segelas kopi. “Terima kasih, Kina.”, ucapku dan dijawabnya dengan senyuman. Ia duduk di sampingku lalu menyandarkan kepalanya di bahuku. Selanjutnya kami mengobrol ringan seperti biasa.

Satu jam berlalu.

“Kina, beberapa hari ini mengapa kau selalu pulang sendiri?”, tanyaku. “Aku—aku tak tahu.”, jawabnya lalu mengalihkan pandangan ke tempat sembarang. “Kau tidak mau membicarakannya?”, “Tidak, bukan itu.”, “Lalu?”, “Aku hanya, hanya ingin pulang lebih cepat saja. Maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu khawatir. Aku hanya—“, ia terjeda sesaat. “—hanya sedang merasa kurang baik.”, “Perlu kah kubelikan obat?”, “Tidak, bukan itu.”, “Um, ya sudah apapun itu kau selalu bisa membicarakannya padaku. Aku di sini.”, ia tersenyum. Senyumnya sama seperti senyum yang di kedai saat itu, tersirat kesedihan namun juga senyumnya tak bisa diartikan. “Staff front-desk memberitahuku kemarin kau menunggu selama satu jam.”, “Oh staff front-desk itu? Wah ternyata mulutnya ember juga ya.”, “Hey! Jangan bicara yang tidak baik tentangnya.”, Kinasle menepuk mulutku. “Ryu, aku tahu mungkin ini agak hipokrit, tapi jika ada sesuatu yang kau pikirkan, ketahuilah aku juga di sini.”. Lengannya lalu melingkar di lenganku tanpa sedikit pun mengubah posisi awalnya. Setelah ia mengatakan itu, aku teringat akan hal yang ingin kuberitahu padanya. Haruskah aku memberitahunya sekarang? Apakah itu perlu? Aku tahu sepertinya itu perlu, tapi apakah harus sekarang? Jika sekarang, maka aku harus mengumpulkan keberanianku. Pertanyaan-pertanyaan ini terus berputar di kepalaku. Keheningan yang berada menemaniku dan Kina menyerbak tanpa permisi. Rasa hening ini benar-benar memenuhi seluruh ruang.

Satu menit berlalu.

“Ini bukan lah Langit Tenggelam yang Paling Jauh.”, ucap Kina.

“Tak ada yang namanya Langit Tenggelam yang Paling Jauh.”, ucapku. Ucap kami bersamaan.

Aku dan Kina langsung berubah posisi menjadi saling berhadapan. Aku langsung membuka percakapan di suasana yang tiba-tiba memanas ini. “Apa? Apa maksudmu ini bukan Langit Tenggelam yang Paling Jauh?”, “Entahlah. Aku tahu mungkin ini terdengar cukup gila. Jika kau memikirkannya, tapi aku merasa ini bukan Langit Tenggelam yang Paling Jauh yang sebenarnya.”, “Jadi, kau juga berpikir yang sama?”, “Tidak. Kau tidak berpikiran yang sama denganku. Katamu, Langit Tenggelam yang Paling Jauh itu tidak ada.”, “Ya, kupikir tempat itu tidak ada.” , “Menurutmu?”, “Ya.”, “Mengapa kau berpikir seperti itu?”, “Karena—“, “Jangan berputar-putar. Beritahu aku, Ryu.” , “Karena aku merasakan hal yang sama seperti saat kita di desa. Aku merasakan hal yang sama.”, “Apa? Jadi kau tidak menemukan kebahagiaanmu di sini?”, “Aku tak tahu.”, “Oh bahkan kau tidak berpikir kalau aku bisa jadi salah satu kebahagiaanmu?”, “Bukan itu!”, “Bohong.”, “Bohong? Mengapa jadi di sini terkesan aku yang salah?”, “Ya memang kau yang salah.”, “Tidak!”, “Jadi apa yang kau inginkan? Kembali ke desa?”, “Ya.”, “Kau gila.”, “Oh jadi kau pikir kau benar? Oke mari bicarakan. Apa yang ingin kau lakukan jika ini bukan lah Langit Tenggelam yang Paling Jauh? Kau mau mencarinya lagi?”, “Ya. Tadinya aku ingin mengajakmu untuk pergi bersamaku, tapi tidak lagi. Kau bahkan tidak percaya bahwa tempat itu ada!”, “Kina, pikirkan ini. Jika kau pergi mencari tempat itu, lalu menemukannya. Setelah itu kau merasa ternyata tempat itu bukanlah Langit Tenggelam yang Paling Jauh. Kau mau apa? Mencarinya lagi dan lagi?!”, “YA! Ada yang salah? Apa ada yang salah jika kau pergi mencari kebahagiaan yang selama ini kau cari?”, “Kau bukan mencari kebahagiaanmu, Kina. Kau hanya mengikuti nafsu dan keinginanmu yang akan terpenuhi jika kau berhasil menemukannya.”, “Apa maksudmu? Aku hanya ingin menemukan kebahagiaanku, karena tempat ini bukan kebahagiaanku.”, “Lalu apa? Jika nanti kau tidak menemukannya, kau akan terus mencari? Sampai kapan? Sampai kau berusia 30 tahun? 50 tahun?”, “YA! APAKAH ITU SALAH JIKA AKU HANYA INGIN MENEMUKAN KEBAHAGIAANKU YANG SESUNGGUHNYA?”, emosi kami sama-sama meledak.

“Apa kau sadar dengan apa yang kau ucapkan?!”, “Apa? Kau pikir aku bukan menjadi diriku sendiri?”, “Tidak Kina. Kupikir ini benar-benar dirimu.”, “Lalu apa? Aku benar-benar.. egois?”, “.. Ya. Kau egois.”, “Hah? Aku egois? Kau pikir aku EGOIS?” Aku hanya ingin MENEMUKAN KEBAHAGIAANKU. Mengapa itu terdengar sangat salah, PADAHAL AKU HANYA INGIN MENEMUKANNYA? JADI KAU PIKIR AKU JUGA HARUS KEMBALI KE DESA? MENURUTMU ITU JALAN TERBAIK? OH, KAU ENAK BISA HIDUP DENGAN SEGALA FASILITAS DAN KEMEWAHAN YANG KAU MILIKI DI SANA. AKU? KEMBALI KE KEHIDUPAN YANG PENUH KETERBATASAN.  AKU YANG TIDAK MAKAN 3 HARI HANYA KARENA AYAHKU MEMBURU BURUNG YANG SALAH? AKU YANG HANYA BISA PERGI KE DANAU SEBAGAI PELARIAN KARENA JIKA AKU PERGI BERMAIN DI TAMAN, AKU TERUS DI SURUH PULANG? AKU YANG BERPIKIR BAHWA AKU HANYA PUNYA SEORANG TEMAN KARENA AKU PEMALU, TAPI NYATANYA MEMANG AKU SAJA YANG TERLALU BURUK BAHKAN TAK LAYAK UNTUK MEMILIKI SEORANG TEMAN?”, kau terdiam. Emosimu benar-benar keluar, napasmu terengah. “Kau, Ryusen, kau yang egois.”, tangismu turun perlahan tapi pasti. Semakin deras, semakin keras. Sedangkan aku hanya terdiam, tak bisa bereaksi apapun, hanya terpatung melihat dirimu sangat kacau. Aku berusaha bicara dengan suara yang serak. “Ki-Kina.. Aku tidak bermaksud—tidak bermaksud menyakitimu.”, “Ryu—“, ia memberi jeda. Ia lalu berdiri dan mengeluarkan senyum tipis yang belum pernah kulihat sebelumnya.

         Satu detik berlalu.

“Aku tak ingin kau menjemputku atau bahkan menemuiku lagi.”

ART MISTAKE.png
bottom of page