top of page
BOOK 2: THE SUNKEN

Chapter 13:

Return to Zero

Sang langit tak pernah menyambutku seceria ini. Sudah hampir satu bulan sejak aku memulai perjalanan dan aku mulai mengingat pemandangan yang kulihat sekarang saat dahulu aku pergi mencari Langit Tenggelam yang Paling Jauh. Aku sudah dekat. Rasanya gila saat aku merindukan setiap angin yang berhembus menerpa rambutku dan juga hawa dari matahari yang menemani setiap langkah yang aku ambil. Sebentar lagi akan ada pulau langit yang terlihat dari ujung mataku, kampung halamanku. Tiba-tiba saja aku teringat bahwa saat ini sedang musim semi di sana, musim favoritku. Semua makhluk hidup akan terlihat indah dan menenangkan. Matahari bersinar hangat. Angin tertiup sepoi damai. Bunga-bunga berwarna pink bermekaran, daun daun menghijau segar. Burung-burung berkicau seperti nyanyian. Orang-orang di dalamnya, saling terhubung. Inilah dia. Setelah matahari kembali menjadi pemalu dan menurunkan eksistensinya dari bentangan langit, terlihat pulau langit yang sangat aku kenali. Meskipun sebenarnya terasa cukup padat, tempat ini tetap memiliki rasa yang menenangkan sebagaimana kampung halaman. Rumah, tempat di mana kau tidak bisa mencium apapun. Bahkan udara yang terasa saat matahari hendak pergi. Dengan didahului langkah pertamaku menginjakkan pulau ini kembali, aku sampai.

Esok paginya aku terbangun dengan mata yang segar karena yang pertama kulihat adalah kamar tuaku ini. Sesampainya aku kemarin, aku langsung membersihkan diri sebelum akhirnya istirahat. Aku tidak banyak bicara dengan ayah ataupun dengan asisten rumah tangga di sini. Mungkin mereka juga paham bahwa aku telah menempuh perjalanan panjang sehingga mereka enggan menanyakan sesuatu padaku terlebih dahulu. Semua benda, ruangan, dan suasana yang berada di sekelilingku entah mengapa membuatku sangat senang dan semangat. Cahaya matahari yang sedikit masuk melalui celah gorden, udara segar di musim semi, semuanya. Setelah menikmati suasana, aku teringat sesuatu yang diberikan Pak Tekkai sebelum aku pergi. Ketika kubuka, mataku membesar, cukup terkejut. Ternyata Pak Tekkai memberikan foto kami berdua saat dahulu merayakan pencapaian pelanggan ke-1000 di kedai dan terdapat sedikit catatan kecil. “Jalani hidupmu dengan bahagia di manapun kau berada, tuan muda.” Aku tak bisa merespon dengan cara lain selain menangis bahagia. “Terima kasih, Pak Tekkai.” Aku masukkan foto dan catatan itu ke bingkai lalu memajangnya di samping fotoku bersama Kinasle yang diambil di Festival Nirmaniana.

Aku bergegas mandi dan merapikan diriku. Sepertinya sedikit jalan-jalan tak akan buruk. “Tuan Ryusen, sarapanmu sudah siap.”, seorang ART memanggilku. Aku lalu mengarah ke meja makan. “Wow! Sepertinya enak. Terima kasih banyak atas makanannya!”, jawabku penuh semangat. Melihatku seperti itu, si ART pun cukup terkejut. “Eh? Kau tak apa?”, ucapku sambil mengunyah sarapan. “Tidak, aku tak apa, tuan. Hanya saja sebelum kau pergi dulu kau tidak pernah membalas atau memberikan respon terhadap orang lain, bahkan ke kerabatmu sekalipun. Maaf jika aku lancang, tapi dahulu kau selalu bersikap dingin kepada semua orang. Sekarang kau terlihat berbeda. Kau seperti bisa menyebarkan aura positif dan juga sudah terlihat lebih dewasa jadi kami semua di sini cukup terkejut.”. “Ah jadi begitu ya aku? “Ahahaha, benarkah? Jadi aku sebegitu dinginnya ya? Omong-omong, aku senang kau mengatakan aku lebih dewasa. Perjalanan ini memberiku banyak sekali pelajaran hidup. Sesuatu mungkin sudah mengubah pola pikirku.”, ucapku. Tetapi di dalam hati aku bicara sendiri, “atau mungkin seseorang sudah mengubah pola pikirku.”, “Aku paham. Baiklah, tuan Ryusen. Kami senang melihatmu senang.”, ucap ART.

Setelah menghabiskan sarapan pagi, aku mulai berjalan berkeliling desa. “Pemandangan yang cantik.”, kataku. Namun seketika aku sadar bahwa pemandangan yang baru saja kusebut cantik adalah pemandangan yang sama dengan yang kusebut buruk dan terkutuk saat aku kecil. Jalanan ini dipenuhi pepohonan rindang hingga menutupi sinar matahari yang hendak masuk. Saat berjalan, aku bertemu seorang ibu dan anak. “Selamat pagi! Semoga hari kalian menyenangkan!”, ucapku sambil tersenyum . “Ah! Tuan Harunakata! Selamat pagi. Apa kabar? Sejak kapan kau kembali?”, tanya si ibu. “Aku sangat baik hari ini. Ya, aku baru sampai kemarin  siang.” , “Baiklah. Jika kau mengizinkan, kami permisi duluan. Semoga harimu menyenangkan!”, ucap si ibu sambil mengajak anaknya yang juga tersenyum. Setelah beberapa saat, aku mulai memikirkan ucapan ART tadi. Apa yang tadi ia ucapkan membuatku semakin yakin bahwa tidak ada Langit Tenggelam yang Paling Jauh.

Aku sampai di tujuan akhir. Tempat di mana aku biasa berlatih sekaligus tempat rahasia untukku meluapkan emosi, yakni danau dingin di daerah belakang desa. Tempat kesukaan Kina. Aku duduk di bawah pohon dan bersandar di batangnya. Semua pemandangan di sini sangat cantik. Air yang jernih, pepohonan dipenuhi bunga berwarna pink, terlihat segar dan mekar dengan sangat ceria. Terkadang dedaunan terjatuh karena angin sepoi-sepoi yang sibuk ke sana kemari. Aku sungguh ingin mengajak Kina untuk melihat semua keindahan ini. Tapi, lagi-lagi aku kembali mengabaikan pemandangan yang ada karena sibuk memikirkan Kina. ‘Aku harap kau bisa melihat pemandangan yang indah seperti di sini, Kina.’, ucapku dalam hati. Aku melepas kalung udara dari leherku, ‘Pekerjaanmu sudah selesai.’, ucapku sambil menatap kalung yang sangat berharga ini.

“Selamat pagi, Ryusen.”, seseorang menyapaku. Aku langsung berbalik badan karena aku tahu dengan jelas siapa ini. “Ayah? Bagaimana kau tahu aku berada di sini?”, ya itu ayahku. “Kau tau, firasat seorang ayah.”, ucap kepala keluarga Harunakata. “Ayah, apa kau ke sini karena ingin bertanya sesuatu?”, “Bagaimana kau tau?”, “Ya, firasat seorang anak.”, “Haha, benar-benar.”, “Apa yang ingin kau tanyakan, yah?”, “Aku hanya ingin bertanya satu pertanyaan. Bagaimana Langit Tenggelam yang Paling Jauh?”, tanya ayahku. Aku berhenti sejenak, bukan karena bingung menjawabnya. Aku hanya ingin menarik napas yang panjang sebelum akhirnya mengatakan,

“Tidak ada Langit Tenggelam yang Paling Jauh. Ayah, itu semua hanya berasal dari pikiran kita sendiri, bahwa kebahagiaan di sana akan terpenuhi karena kita berhasil menemukan tempat itu. Membuat ilusi bahwa kebahagiaan adalah tujuan akhir. Saat itu, sesampainya aku di sana, kebahagiaan yang selama ini aku impikan nyatanya tak bertahan lama. Aku bahkan tidak bisa mengingat dengan jelas rasa bahagianya. Kini aku menyadari, kebahagiaan yang aku rasakan dan akan selalu kuingat sampai mati adalah kebahagiaan yang aku ciptakan sendiri. Aku menarik mundur semua rencana dan impian yang ada di masa depan ke masa sekarang. Masa di mana saat ini aku benar-benar menjalankan kehidupanku. Jadi, karena aku tarik semua itu maka kebahagiaan itu sendiri bukan lagi sebuah harapan, impian, atau tujuan. Melainkan semua yang aku rasakan saat ini, di mana aku bisa bahagia tanpa harus bermimipi untuk bahagia. Aku bisa hidup bahagia dengan apa yang kupunya saat ini. Aku akhirnya sadar betapa menakjubkannya kehidupanku, dengan mensyukuri semua yang ku miliki tanpa haus akan ego kepada hal yang tidak ku miliki. Sambil tetap mempunyai tujuan hidup, aku juga tetap bisa bahagia atas setiap jalan yang kuambil. Jadi, aku benar-benar bahagia sekarang. Tak peduli aku di Langit Tenggelam yang Paling Jauh, di desa ini, atau bahkan dimanapun itu. Seperti yang tadi kukatakan, aku menarik mundur impian kebahagiaanku dari masa depan ke masa sekarang. Aku menarik mundur Langit Tenggelam yang Paling Jauh  yang hanya terlihat jauh dari ujung mata memandang, ke tempat ini. Inilah Langit Tenggelam yang Paling Jauh yang aku miliki.”, aku menyelesaikan kalimat panjang ini.

“Ah begitu. Baiklah nak, kalau begitu selamat datang di Langit Tenggelam yang Paling Jauh.”

album art return to zero.png
bottom of page