
BOOK 2: THE SUNKEN
Chapter 9:
useless
JURNAL HARUNAKATA, RYUSEN
Tanggal : 10-11-20 Hari : Rabu Cuaca : Hujan petir
Hujan, hujan turun tanpa henti.
Dalam semua dongeng, cerita, hujan selalu dimaknai sebagai kesedihan dan perpisahan. Tapi aku tidak merasakan kesedihan sama sekali. Tapi tidak sedih bukan berarti aku bahagia. Semuanya terasa pahit dan membingungkan. Aku tak pernah merasa cocok dengan hujan, karena, di desaku tidak pernah benar-benar terjadi hujan. Oh dan dulu setelah memakamkan ibu juga terjadi hujan. Jadi, aku memang tidak benar-benar menyukai hujan. Tapi untuk hari ini, aku layaknya berteman dengan setiap tetesnya. Karena hari ini hujan terasa menenangkan, terlepas dari derasnya dan kerasnya semua petir yang menyambar. Karena hari ini kita terjebak di kedai. Kita memutuskan untuk membuka kedai sedikit lebih lama karena pelanggan juga tak bisa pulang.
Hanya merindukan cahaya saat ia tertutupi sesuatu.
Aku ingin melihatnya, ia kembang api. Di mana aku bisa menemukannya belakangan ini? Haha, aku terlalu sentimen. Aku sudah berada di tingkat keklasikan ku yang baru. Semuanya karena hujan. Hari ini aku meninggalkan kedai saat sore, seperti biasa. Hal yang tak biasa adalah, aku tidak melewati jalan yang sama. Hal yang tak biasa adalah aku tak pergi ke tujuan yang sama. Dan yang paling tak biasa adalah, aku tidak pergi menemuinya. Sudah satu bulan sejak pertengkaran kami. Ah, aku mengacaukan semuanya ya? Bagaimana bisa aku sangat tak berperasaan? Pada akhirnya aku bahkan tak bisa menjadi kebahagiaannya. Hari ini aku langsung menuju ke rooftop, berkebun sedikit. Semua ini terdengar seperti hal yang dilakukan untuk menyembuhkan, menenangkan hati dan pikiran, seperti ‘oh ya aku sedang berkebun. Lihat, aku baik-baik saja tanpamu.’ Nyatanya ini semua bahkan tak terasa menyembuhkan sama sekali. Malah ini semua membuatku semakin mengingatnya. Konyol sekali bagaimana persahabatan yang sudah dijalin sepuluh tahun dan hubungan sepasang kekasih yang sudah dijalin satu tahun dapat berakhir hanya dalam satu malam. Aku masih mengingat sangat jelas rasa kopi yang ia buat saat itu. Rasa pahitnya ternyata memang benar. Saat aku meninggalkan rooftop dan melangkah ke kedai, hujan mulai turun. Ini pertama kalinya aku menggunakan payung di tahun ini. Berjalan sendiri di jalan yang memancarkan pantulan sinar dan licin karena hujan. Semua orang tak terlihat berada di jalan. Aku berpikir jika aku benar-benar melakukannya, kembali ke desa. Aku sudah tak pernah mengenakan kalung udara sejak aku di sini. Apakah Pak Tekkai nantinya akan baik-baik saja? Aku pasti akan merindukannya.
Semuanya akan sangat sepi di atas sana.
Takut kesepian? Tidak. Kupikir lebih kepada rasa takut akan bagian dari diriku yang menjadi hampa. Sejujurnya, tak ada yang mau. Bahkan seseorang yang kesepian memiliki temannya sendiri. Bisa dengan ruangan yang ia tempati, dengan buku kesukaannya, atau mungkin dengan pikirannya sendiri. Aku ingin ditemani oleh cahaya. Udara yang dingin akibat hujan deras dapat terserap oleh sebuah cahaya yang hangat dan pekat. Aku tak mengerti mengapa kebanyakan orang sangat menyukai hujan. Kupikir hati yang bergetar akan selalu menyukai langit yang cerah.
Cukup semua tentang langit.
Semua langit. Langit cerah, langit berawan, langit yang menurunkan hujan, atau bahkan Langit Tenggelam yang Paling Jauh. Aku ingin membicarakannya, Kina. Konyol sekali terkadang aku masih berpikir semua ini mimpi. Haha, aku harap begitu. Aku ingin kau tetap bersamaku, di sampingku. Tapi sekarang sudah terlambat untuk bicara apapun. Bahkan apabila semuanya belum terlambat, sejujurnya, kau tetap tak bisa. Kau benar, jika kau ingin menemukan kebahagiaanmu, pergilah. Mengapa aku sibuk untuk mengganggumu, memintamu untuk ikut kembali bersamaku? Ya, aku terlalu egois. Tapi bagaimanapun juga, aku harus melakukan apa yang aku yakini. Aku ingin kembali ke tempat asalku, desa di mana aku tinggal dahulu. Namun, aku tak bisa berhenti memikirkanmu. Ah, lagi lagi terlalu egois. Aku tidak ingin mengakui bahwa semua ini telah usai. Kupikir, masa lalu biarlah berlalu. Kupikir memang pada akhirnya kita tak akan bertahan.
Kupikir ‘kita’ memang tak pernah ada.
