
BOOK 2: THE SUNKEN
Chapter 11:
is it time to let go?
“Seluruh energi menyerbak terbang, berkumpul, terkonsentrasi, kemudian menyebar atau mengubah diri.”
Aku mencoba mengumpulkan energiku sambil melakukan gerakan tetap. Namun entah mengapa aku tidak bisa melewati tahap pengumpulan energi. Aku tidak bisa konsentrasi. Aku tahu, akan mudah untuk melakukan Mystical Art menggunakan banyak gerakan. Tapi jika aku hanya mengandalkan kekuatan terakhirku saat sampai di sini, itu tidak akan cukup bagiku untuk terbang bahkan untuk melihat pulau langit terendah. Ini semua juga karena aku sudah tidak pernah lagi mengenakan kalung udara sejak sampai di sini. Staminaku sekarang sudah jauh lebih lemah daripada dulu. Aku harus bisa lebih kuat lagi daripada rekor stamina terbaikku agar bisa terbang cukup tinggi. Ada satu buku, dari keluarga Harunakata di perpustakaan kota yang mengatakan bahwa, seseorang yang bisa memenuhi semua tahap pembentukan energi dengan gerakan tetap maka ia akan bisa menangani kekuatan Clear Sky layaknya bukan sebagai energi terakhir namun sebagai Daylight biasa. Buku itu juga mengatakan bahwa orang yang bisa melakukannya akan dapat menyelesaikan proses pembentukan energi dengan cepat. Singkatnya, ia akan menjadi semakin kuat.
Tapi semua masalah itu sudah berusaha aku tangani sejak 2 bulan terakhir dengan latihan. Saat ini sudah tengah malam namun aku masih sulit memfokuskannya. Aku masih di sini, duduk di sofa rooftop. “Sudah cukup kaliya hari ini?”, ucapku pada diriku yang hendak langsung kembali ke rumah. Memang sih, latihan tadi juga masih jauh dari target yang ingin kucapai tapi aku tetap membuat perkembangan. Aku sudah bisa fokus sekitar 20% karena aku sudah bisa merasakan energi mulai berkumpul di tubuhku. Jadi sepertinya buku ini benar. Aku meninggalkan bangunan tua ini sekitar pukul 1 pagi. Aku cukup terkejut karena ternyata kota ini masih ramai. Jalanan masih terdapat beberapa orang. Beberapa kafe, bar, club, dan restoran juga masih buka. Langit terlihat sangat cerah malam ini terlepas dari kondisinya yang tidak bersahabat karena hujan deras selama dua hari terakhir. Aku berjalan melewati sekumpulan laki-laki dan perempuan yang sedang menikmati malam. “Haruskah aku mampir ke bar?”, pikirku. Beberapa minggu belakangan ini aku kurang istirahat karena harus berlatih dan mempersiapkan segala keperluanku sebelum pergi. Aku juga terus menjaga toko yang sedang lebih ramai daripada biasanya. Aku pikir-pikir lagi, aku juga belum pernah libur dari keseharianku setelah ‘insiden apartemen’ itu. “Ah tidak, jika aku terlalu mabuk karena tidak bisa mengontrol diri, aku akan sulit untuk bangun dan sadar sepenuhnya di pagi hari. Aku akan menyusahkan pak Tekkai.” Aku lalu lebih memilih untuk lanjut berjalan dan mampir ke minimarket 24 jam untuk membeli mie instan juga sekaleng bir. “Tetap saja, aku harus mengisi perutku yang belum makan dari siang.”, pikirku. Sesampainya di rumah, aku langsung mandi dan bersih-bersih sebelum akhirnya makan. Setelah itu, aku duduk menikmati mie instan dan sekaleng bir. “Aku penasaran, kau sedang apa? Apa kau sudah tidur? Atau sedang menatap langit yang sama sepertiku? Kina.”
“Seluruh energi menyerbak terbang, berkumpul, terkonsentrasi, kemudian menyebar atau mengubah diri.”
Gerakan tetap. Jangan menaruh tekanan pada otot manapun. Cukup, tahan. Lalu konsentrasi, fokuskan energi-energi ke seluruh sendi, otot, tulang, juga respirasi. Fokus Ryusen, fokus. Energi itu pun terbang dan berkumpul mengelilingiku sedikit demi sedikit. Semuanya mulai terkonsentrasi pada tubuhku. Sekarang aku hanya perlu menyebarkannya. Aku bisa merasakan staminaku meningkat kembali. Aku coba menggunakannya untuk perlahan-lahan melayang dari sofa yang kududuki. Jika aku tidak bisa tahan di posisi ini selama 2 jam, maka akan mustahil bagiku untuk bisa terbang tinggi menuju pulau langit terendah. Karena pergi dengan arah yang naik dari daratan bumi menuju pulau langit lebih sulit daripada berpindah dari satu pulau langit ke pulau langit lainnya. Semuanya disebabkan oleh tekanan angina dan tarikan gravitasi.
Dengan beberapa alasan, aku coba untuk menahan posisiku ini selama 5 jam. Lucu sekali bagaimana diam melayang selama 5 jam jauh lebih sulit dan membutuhkan tenaga lebih dari standar melakukan kardio. Akhirnya aku menjatuhkan diriku ke sofa setelah merasa mulai bosan. Aku berhasil kan? Dengan ini, aku pasti bisa untuk kembali ke desa.
Hanya satu hari sebelum keberangkatanku, aku sudah bilang ke Pak Tekkai soal aku yang sudah menguasai kembali semua kekuatanku. Ia terlihat mulai merelakan dan turut senang dengan rencana keberangkatanku, seraya ia tersenyum dan memelukku. Dua hari ini mungkin akan menjadi hari-hari terakhir kami bekerja bersama. Aku memutuskan untuk memberikan seluruh aset yang kupunya untuknya. Pendapatan dari kedai, uang hasil penjualan rumah, termasuk kedai teh ini sendiri yang sudah aku kerjakan sejak sampai di sini. Aku percaya ia bisa menggantikanku mengambil alih tempat ini. Kemampuannya membuat teh juga sudah meningkat pesat sejak aku mengajarkannya versi Harunakata. Aku bahkan sempat mempertimbangkan dirinya untuk menjadi pembuat teh di Harunakata. Aku akan sangat merindukannya. Saat ini aku menutup kedai dan pergi bersama Pak Tekkai. Ia mengundangku untuk makan malam di kediamannya.
“Aku sudah bilang ke istri dan anakku. Malah anakku sepertinya sangat bersemangat untuk bertemu denganmu.”, ucap Pak Tekkai. “Ah begitu, aku jadi tak sabar bertemu dengannya.”, “Merupakan suatu kehormatan bisa makan malam dengan anda, tuan muda.”, “Hey! Aku sudah mau pergi dan mungkin kita tidak akan bertemu lagi dalam jangka waktu tertentu, apa kau masih ingat yang kukatakan saat pertama kau kerja di kedai?”, “Jangan memanggilmu ‘tuan muda’.”, “BENAR! Namun kau masih saja kekeh untuk memanggilku dengan sebutan itu. Sudah hentikan saja karena aku bukan lagi tuan mudamu.”, “Kupikir kau benar. Kau bukan lagi seorang tuan muda.”, “Jadi?”, “Aku berhenti memanggilmu dengan sebutan itu.”, “Benarkah? Akhirnya! Setelah sekian lama.”, “Jika kau senang, maka aku juga senang melakukannya… Tuan Ryusen.”, “Sial, tadi itu bagus sekali.”, ucapku disertai tawa yang muncul dari kami berdua. “Omong-omong, aku punya hadiah kecil untukmu.”, ucap Pak Tekkai. “Oh ya? Baik sekali! Apa itu?”,”Tapi janji kau tidak akan membuka ini sebelum kau sampai di kampung halamanmu.”, ucap Pak Tekkai sambil memberiku sebuah amplop dengan surat di dalamnya. Aku awalnya cukup bingung namun akhirnya memutuskan untuk menerima perjanjian ini. “Aku mengerti, aku janji tidak akan membukanya sampai aku berhasil kembali ke sana.”, kataku.
Sesampainya di rumah Pak Tekkai, kehadiran kami langsung disambut anak laki-lakinya. “Ariel!”, teriak Pak Tekkai sambil anaknya berlari ke arahnya. Pak Tekkai menangkap Ariel dan langsung menggendongnya. “Papa! Bagaimana harimu?”, “Hariku? Uh, sangat keren seperti biasanya! Hey Ariel, ini Tuan Ryusen.”. Pak Tekkai memperkenalkan diriku pada anaknya sembari menurunkan gendongan. “Hai kamu! Ariel kan?”,”Ya! Namaku Ariel, senang berjumpa denganmu, Bapak Tuan!”, ucap Ariel sangat polos. Mataku langsung menatap tajam ke Pak Tekkai, tatapanku seperti berteriak ‘SUDAH KUBILANG JANGAN MEMANGGILKU DENGAN SEBUTAN ITU’ padanya. Saat ia menyadari tatapanku, ia langsung mengalihkan pandangan. “Senang bertemu denganmu, Ariel kecil. Namaku Ryusen Harunakata! Kau bisa panggil aku Ryu!”, “Baiklah, tapi mengapa papa memanggilmu Tuan Ryusen?”, setelah ia menjawab itu rasanya aku bicara sendiri dalam hati. “Ariel, aku juga sudah mempertanyakan itu sejak pertama kali bertemu papamu.”, namun yang keluar dari mulutku adalah, “AKU TAHU BUKAN? Hahaha, papamu memang sungguh sopan, Ariel.”, “Lalu, bolehkah aku memanggilmu kakak Ryu?”. Mendengar pertanyaan itu mataku langsung membesar. “Ya!”, ucapku penuh senyum.
Setelah beberapa saat, kami makan malam. Nyonya Tekkai benar-benar pandai memasak. Masakannya enak sekali. Perutku sangat kenyang setelah menghabiskan makanan yang ada. Sambil makan, kami juga banyak mengobrol ringan. Tadi itu sungguh momen yang hangat. Aku sangat menikmati waktuku di sini. Nyonya Tekkai juga mendoakan agar aku aman dan selamat sampai tujuan. Aku merasa sangat disambut di sini. Mungkin karena aku bisa merasakan rasa kekeluargaan yang erat. Berbeda sekali dengan tempo hari aku makan mie instan sendirian di tengah malam dengan hari ini yang makan bersama satu keluarga. Kalau boleh jujur, aku belum pernah merasakan ini bahkan saat dulu masih di rumah Harunakata. Kami biasanya makan terpisah, sendiri-sendiri karena kami memiliki pekerjaan dan aktivitas yang berbeda. Peraturan di rumah juga cukup ketat terkait jadwal makan. Jadi ya, momen ini pasti akan selalu kuingat selamanya. Ketika aku sudah ingin pulang, mereka semua mengantarku ke depan. “Sampai jumpa, kakak Ryu!”, ucap Ariel. Anak ini memang baik. Jika ia mungkin ada rencana untuk mempelajari Mystical Art, aku yakin kemampuannya akan melebihi aku. Karena baru semuda ini saja ia terlihat sudah bersahabat dengan energi-energi positif.
“Sampai jumpa, semuanya! Terima kasih banyak sudah mengundangku!”
