top of page
BOOK 2: THE SUNKEN

Chapter 7:

mint

Tiada hari yang membosankan karena tiada hari tanpa Kina. Begitu lah yang kurasakan setelah 18 bulan berada di tempat ini. Enam bulan sudah aku dan Kina resmi menjalin hubungan yang lebih dekat, enam bulan sudah aku benar-benar menikmati hariku bersamanya lebih dari sekadar teman, enam bulan sudah aku dan dia menjadi ‘kita’. Hariku memang tak membosankan, tetapi jika dipikir-pikir lagi memang tak terlalu banyak perubahan di antara aku dan dia. Fakta bahwa kita sudah dekat sejak kecil membuat aku dan Kina sudah sangat memahami diri masing-masing. Mungkin perubahan yang terjadi lebih kepada hal-hal kecil yang ternyata semakin menguatkan hubungan ini. Sederhana tapi bermakna.

Setelah hari itu, aku merasa lebih bersyukur setiap harinya atas semua hal yang kumiliki di sini. Aku memiliki semangat untuk terus memperjuangkan hidup bersama dengan orang yang kucintai, tanpa terkecuali. Setiap pagi aku merasa ada dorongan untuk selalu bersemangat dan bahagia. Aku merasa bisa mengeluarkan sifat positif yang nyatanya berdampak pada orang lain. Kinasle adalah orang yang menularkan sifat positif itu. Senyum, tawa, dan gelagat lucu yang dimilikinya memang sudah menjadi cirinya yang tak akan pernah lepas dari kesukaanku. Setiap pagi aku dan Kina berangkat bersama, ia ke kantor dan aku ke kedai teh. Berjalan bersamanya ditemani kicauan burung gereja di pagi hari terasa sangat menenangkan hati. Kina menjadi pelanggan pertamaku hampir setiap hari. Teh hitam hangat dengan sedikit biskuit dibuat penuh kasih untuk Kina ku yang terkasih. Pernah membaca bahwa apa yang kalian lakukan di pagi hari itu sangat mempengaruhi mood kalian seharian? Ya, memang seperti itu. Aku ingin Kina bisa mengawali paginya dengan tenang dan ditemani dengan sesuatu yang ia suka. Meskipun tak bertemu setiap saat, hadirnya teh buatanku dan cincin yang selalu terbaring di jari manisnya membuatku sangat senang. Sebenarnya, menyadari bahwa Kina adalah orang yang kusayang membuatku sangat senang. Aku juga selalu memakai anting yang diberikannya saat itu. Berbicara mengenai hal-hal kecil lain namun tetap bermakna adalah aku merasa diriku menjadi Ryusen yang seutuhnya jika bersama Kina. Keterbukaan dari diriku yang dahulu sukar dilakukan kini perlahan semakin memudar. Aku merasa dapat mengeluarkan seluruh isi hati dan pikiran kepadanya tanpa ia repot menebaknya lagi. Ketika sedih, marah, cemburu, bahagia, ataupun merasakan sesuatu yang aneh aku akan dengan sendirinya bercerita kepada Kina. Meskipun ia cenderung blak-blakan tentang isi hatinya, ia juga tak mudah untuk mengatakan sesuatu yang romantis. Sebenarnya, kata panggilan “sayang” memang tak sering terucap dari mulut kami berdua. Aku tak apa akan itu, mendengarnya memanggil namaku dengan “Ryusen” daripada “Ryu” saja sudah membuatku tersenyum. Entah mengapa sejak saat itu Kina mulai memanggil namaku dengan lengkap seperti itu. Satu hal lagi yang kusuka darinya adalah ia selalu mengkomunikasikan sesuatu dengan caranya sendiri. Contohnya saat kemarin ia harus berangkat lebih pagi karena ada pekerjaan yang mendesak, ia menyelipkan surat di bawah pintu flat yang kutinggali hanya untuk berpamitan dan menyemangati hariku.

“Matahari pagi belum muncul tetapi aku lebih dulu muncul di depan rumahmu. Dengkurmu terdengar sampai depan pintu, astaga! Nyenyak sekali rupanya. Pagi ini aku tak bersamamu ya, berangkat sendiri ke kedai teh ok!

Jangan lupa memakai kaus kaki, hari ini sepertinya akan dingin. Aku harus berangkat lebih awal karena hari ini ada kunjungan ke perusahaan partner. Mungkin akan sibuk, tak perlu menungguku nanti sore ya. Aku akan mampir ke kedai mu begitu pulang kerja. 

Jangan lupa tersenyum, akan ada banyak hal yang menunggumu hari ini. Aku sayang kamu, Ryusen.”

Tuan Putri Kinasle

Sepucuk surat itu kutemukan kemarin pagi. Membacanya membuatku tersenyum, bagaimana bisa ia datang ke sini tanpa membangunkanku bahkan ia menyempatkan waktu padahal ia sedang terburu.

Hari ini Kinasle libur dan kami akan menghabiskan waktu bersama. Tak perlu khawatir, kedai teh sudah kutitip pada Tekkai. Sudah lama aku tidak berjalan-jalan dengan Kina, karena beberapa kesibukan yang belakangan ini melanda. Hari ini hari ke-15 di bulan September yang berarti festival tahunan di Langit Tenggelam diadakan. Jika kalian bertanya apa yang membuatnya spesial, maka jawabannya adalah seluruh rangkaian hiburan yang diadakan. Festival Nirmaniana, lebih tepatnya.  Menurutku, festival ini diadakan untuk menyambut musim salju. Di sini memang agak aneh karena terdapat musim hujan dan salju yang terjadi berurutan. Meskipun di desa kami juga sering diadakan festival, namun aku tidak pernah datang. Entah karena keluarga tidak mengizinkanku atau aku yang harus menjaga salah satu booth di sana. Jadi ya, aku tidak pernah benar-benar merasakan euforia dari suatu festival. Nah maka dari itu kali aku sangat bersemangat. Terlebih lagi bersama seseorang yang kusayang.

“Sudah siap?”, tanyaku pada Kina. “Tentu.” Kina yang baru saja turun dari kamar apartemennya terlihat cantik dengan memakai Yukata. Um, aku juga memakainya sih, tapi ia benar-benar terlihat mempesona hari ini. “Kau tidak mau bilang apa apa?”, ucap Kina dengan pipi yang memerah itu. “Kau mau aku mengatakan apa?”, goodakku. “Tidak jadi.”, “Iya iya, hari ini Kina ku sangat cantik. Aku benar-benar pacar yang sangat bahagia.”, mendengar ucapanku itu wajah Kina langsung memerah seperti kepiting rebus. “Katakan itu lagi maka aku pukul kau.” Hahaha, salah tingkah. “Aw, jangan di muka tapi ya!”, kami berdua tertawa. “Ahiya, aku seperti menyadari sesuatu. Kau mengubah gaya rambutmu ya?”, tanya Kina. “Tidak cocok ya?”, “Bukan, bukan itu!”, “Lalu? Aku terlalu tampan ya?”, “Eh? Bukan gitu maksud--”, “Oh jadi aku jelek? Ah aku hanya membuang waktu dengan tatanan rambut ini. Ya sudah aku kembalikan seperti--”, “Jangan! Kau terlihat sangat tampan hari ini.”, ucap Kina tapi tak berani menatapku. Saat melihatnya seperti itu, aku tahu aku menang karena ia bahkan malu untuk melihat ke arahku! “Haha, sejujurnya aku juga tidak terlalu peduli dengan itu semua. Aku sengaja, hanya ingin tahu bagaimana Kina-ku melihat penampilanku.” , “Aish, sejak kapan kau menjadi sangat narsis.”, “Sejak kamu menempati semua ruang di hatiku. Baikah, kita pergi?”, “Ayo.”, balasnya lalu kami berjalan menuju festival itu.

Pagi hari ini cerah secerah hatiku. Festival Nirmaniana yang sudah kunanti akan kuhampiri. Sebelumnya, Festival Nirmaniana adalah festival bunga tahunan dengan dipenuhi keahlian florist  yang akan merangkainya menjadi buket, satuan, bingkai, maupun jajaran pot yang membentuk taman kecil. Langit Tenggelam selain memiliki kota yang maju, ia juga memiliki banyak bunga yang ternyata hanya ada di tempat ini. Bunga Spectrica, memiliki kelopak yang warna-warni lengkap mejikuhibiniu. Di sini juga ada dandelion raksasa yang hanya akan mekar pada bulan September hingga Desember. Festival ini diadakan di taman kota yang bersebelahan dengan taman rekreasi. Jika tujuan utamaku adalah festivalnya, maka taman rekreasi adalah tujuan utama Kina.

“Senyummu itu loh, kok lebar terus sih!” “Ya karena aku senang! Tahun lalu kan kita gak jadi pergi.” “Oh jadi kau menyesal menjagaku saat sakit tahun lalu? Ah cukup tahu.”, “Aku tidak menyesal menjagamu. Tapi memang ada satu hal yang kusesali.”, “Apa itu? Ayo katakan, katakan, katakan.”, “Aku menyesal… karena tidak menjagamu cukup baik jadi kita tidak bisa pergi di hari selanjutnya!”, tepat setelah aku menyelesaikan omonganku, ia langsung  mencubit perutku. “OW! UNTUK APA ITU?!”, “Itu karena kau berhasil mengejekku dengan sangat mulus!”, “Baiklah aku akan lebih keras lagi padamu.”, “Kayak bisa saja!”, “Ya, bahkan pukulan selanjutnya darimu bisa-bisa mendarat di wajahku.”, “Hm, bisa juga. Hei, setelah yang tadi kau berhutang sesuatu padaku.”,”Yah, sepertinya iya, Apa yang kau inginkan?”, “Cari tahu sendiri!”, “Oh jadi kau terlalu malu untuk meminta sesuatu yang kau mau?”, “Aku tidak pernah malu untuk mengatakan apapun.”, “Baiklah kalau begitu.”, ucapku sambil meraih tangannya dalam genggamanku. “Sebagai gantinya, kuberikan ini ya.”. Ia pun tersenyum.

Kami sampai di tujuan, Nirmaniana. Ramainya anak kecil, pasangan, bahkan keluarga besar membuat tempat ini semakin terasa menyenangkan. Banyak balon-balon yang dijual, banyak pula gelembung dari sabun yang dimainkan anak-anak di seluruh pelataran. Merah, kuning, hijau, biru, ungu, jingga, merah muda, warna-warna bunga yang indah serta wangi yang menyerbak membuat senyumku semakin lebar. Kina menyadari hal itu, ia memegang tanganku lalu kami berjalan memasuki festival. Di sini tidak hanya banyak florist memajangkan karyanya, namun juga banyak permainan kecil yang bisa dimainkan seluruh pengunjung. Diadakan di taman yang cukup luas, dipadukan dengan hiasan yang sangat memanjakan mata, juga cuaca yang mendukung benar-benar membuat festival ini terasa sempurna.

“Kina, aku senang sekali. Terima kasih sudah mau menemaniku kesini tahun ini.” “Hey kita bahkan baru sampai, masih banyak yang harus kita nikmat di sini. Simpan terima kasihmu untuk nanti. Lagipula, ini juga keinginanku sendiri.”, jawabnya dengan senyum. Saat ini aku dan Kina tengah melihat seorang florist wanita yang sedang menjelaskan filosofi dari gaya hias bunga yang ia buat. Florist itu membuat rangkaian bunga yang disusun dalam suatu akuarium bulat, dengan berbagai jenis bunga berwarna kontras di dalamnya. Hitam, kuning, dan merah muda. Aku tak tahu nama bunganya, namun ia menjelaskan bahwa bunga tersebut merupakan makna dari kehidupannya sejak kecil. Merah muda mewakili dirinya sebagai wanita, hitam mewakili masa-masa sulit yang ia alami, dan kuning mewakili cahaya yang ia temui. Setelah dilihat kembali, ia menyusun bunga berwarna kuning mengelilingi bunga berwarna hitam, dan yang berwarna merah muda berada di sisi akuarium yang lain menghadap ke kedua bunga itu. Kuning yang mengelilingi hitam bermakna bahwa selalu ada jalan yang terang untuk menyinari kegelapan setiap orang. Yang perlu dilakukan adalah dengan menghadapi semuanya, meskipun terkadang menakutkan atau membuat kita harus keluar dari zona nyaman.

“Aku tidak pernah berpikir bahwa menyusun rangkaian bunga saja memiliki filosofi. Apa kau tahu ini sebelumnya?”, tanya Kina padaku. “Tentu saja. Alasan bahwa aku sangat menyukai bunga adalah karena bentuk dan warna yang beragam itu memiliki makna tersendiri. Bahkan setiap florist yang menyusunnya saja bisa menghasilkan makna yang berbeda.”, “Ah begitu. Omong-omong, apa bunga favoritmu?”, “Aku? Sepertinya Manjushage. Kau tahu, bunga lili berwarna merah yang berbentuk laba-laba. Bunga itu melambangkan kematian. Aku jadi merasa tidak perlu melakukan banyak hal karena pada akhirnya aku juga akan mati. Bunga itu juga mengingatkanku akan kepergian ibu. Tapi sekarang, setelah kita bersama, aku sangat menyukai bunga itu karena dengan melambangkan kematian, aku jadi harus menentukan segala keputusanku dengan bijak dalam kehidupan. Aku memilih untuk terus bersyukur atas jalan yang kuambil, dan menjalankan kehidupanku sebaik mungkin sebelum akhirnya aku pergi. Aku harus menikmati semuanya, bersamamu, menjagamu. Alasan aku hidup saat ini ya karena kau, Kina. Alasannya jelas, karena aku sayang padamu.”, Kina terlihat cukup terkejut atas jawabanku. Mungkin ia tidak memperkirakan itu sebelumnya, ia pun selanjutnya tersenyum.

Kami pun lanjut mengelilingi festival bagian lain. Wah, ada permainan lempar sasaran! Melihat itu, Kina langsung tertarik mengajakku ke sana. “Aku main ini ya!” “Aku juga dong. Kita jadi lawan!”.”Ah, jadi kau ingin menantang seorang Sirenetaki di permainan yang sudah menjadi keahliannya?”, “Kita lihat saja, paling kekuatanmu sudah memudar karena di sini tidak pernah latihan. Kau pikir kau bisa menang dan mendapat hadiahnya?”, “Jangan meragukan darah Sirenetaki yang mengalir di tubuhku. Bagaimana jika aku mengenainya?”, “Ya kau dapat hadiahnya.”, “Aku juga tahu itu. Jika aku menang, kau juga harus memberikanku hadiah!”, “Apa yang kau inginkan?”,”Lihat saja nanti.”, ucapnya sambil siap-siap bermain. Permainan ini memiliki percobaan sebanyak dua kali. Kami memulai bersamaan, lemparan pertamaku meleset! Namun siapa sangka ternyata lemparan Kina pun tak jauh berbeda. “Hahaha kau pun sama, Sirenetaki.”, “Tenang Kina.Tenang, santai. Kau pasti bisa.”, ucapnya tanpa mempedulikan ejekanku. “Jika aku yang menang, kau juga harus memberikan hadiah karena kalah taruhan.”, ucapku. “Eh? Sejak kapan ini menjadi taruhan?”, “Sejak barusan!”, ucapku yang langsung terhenti karena Kina berhasil mengenai sasaran sedangkan aku tidak.”Sudah kubilang, Jangan meragukan Kinasle Sirenetaki!”, ucapnya sambil mengibas rambut. “Baiklah, ya ya ya aku kalah.”, ucapku mengendus sebal. “Selamat nona! Karena anda berhasil mengenai titik tengah, anda berhak mendapat si kecil ini. Ini terbatas loh, kami hanya menyediakan 5 buah untuk hadiah ini. Sekali lagi selamat ya!” Diterimanya satu pot tanaman bunga dengan kelopak warna-warni, itu Spectrica! “Ah lucunya spectrica kecil. Gemas sekali kan, Ryu?”. Kina melihat bunga itu dengan detail, didekatkan bunga itu pada wajahnya. Gemas sekali, bukan hanya bunga itu tapi juga Kina. Matanya birunya berbinar bahagia. Kinasle lalu memberikan tanaman itu padaku. “Ini.” “Apa? Aku yang pegang?” “Buatmu, Ryusen.” “Ah, kan kau yang menang biarkan ini buatmu saja. Aku tak apa, tetap senang kok!”, “Ya aku juga tak apa. Kau memang masih berhutang sesuatu padaku karena kalah taruhan, tapi aku memang ingin memberimu ini. Aku tahu kau belum memiliki bunga seperti ini. Spectrica juga pasti akan sangat bermakna dengan setiap warna yang dimilikinya. Nanti kita letakkan di rooftop saja ya?” “Ah ya kau benar. Bunga ini seperti memaknai keseluruhan dari hidup, setiap elemen ada di dalamnya. Terima kasih, Kina. Iya, nanti pulang dari sini kita letakkan di rooftop ya. Kita rawat bersama Spectrica kecil ini.”, ucapku tersenyum diikuti dengan senyumannya. Kami pun pergi dari permainan itu setelah mengucapkan terima kasih kepada penjaga permainan.

Waktu semakin siang, aku dan Kina mulai mencari makanan karena lapar. Terdapat sebuah kedai makanan kecil di festival dengan tempat duduk yang cukup unik, diisi dengan semua komponen serba rotan dan kayu. Setelah memesan aku dan Kina mencari tempat duduk. “Kina, aku ke toilet dulu ya.”, ucapku pada Kina. Ia hanya mengangguk dan melihat bunga spectrica lagi. Sebenarnya aku tidak ingin ke toilet, namun ketika menuju ke kedai ini aku melihat sebuah stand yang menjual bunga lili. Sangat cantik. Kina pernah bilang bahwa bunga kesukaannya adalah bunga lili, karena mirip burung yeoli namanya. Alasannya memang sungguh kekanak-kanakan namun setelah kuperhatikan lagi, Lili merupakan bunga yang cocok dengannya. Putih bersih, indah, dan siapapun yang melihatnya dapat tersenyum. Maka dari itu kuputuskan untuk membeli sebuket buka lili untuknya. Harum.

“Lama sekali. Mengantri atau bagaima—“, ucap Kina yang selanjutnya terdiam begitu aku memperlihatkannya sebuket bunga Lili. “Untukmu, nona Sirenetaki.” “Astaga. Dapat darimana? Waah, cantiknya!” Kina langsung menyambut bunga Lili dari tanganku. Ia kini menciumi bunga itu, harum katanya. Matanya semakin berbinar, senyumnya kian bersinar. Bahagia ini benar-benar nyata, aku jadi ragu sebenarnya entah pulau ini yang membawa kebahagiaan atau itu semua hanyalah berkat Kina. Entah apapun itu, aku sangat bersyukur bisa merasakannya.

Setelah makan, kami memutuskan untuk lanjut mengelilingi festival dengan perut kenyang dan hati yang ceria. Beberapa permainan juga kami ikuti untuk menikmati waktu di sini. “Sepertinya kita sudah menyusuri setiap tempat di festival ini. Main ke taman rekreasi yuk? Aku ingin memanjat tebing. Di sana ada wahananya kan?”, tanya Kina. “Oh ya ada! Sepertinya aku pernah mendengarnya.” Tanpa berlama-lama kami langsung berjalan menuju taman rekreasi. Semakin sore semakin ramai, semua orang di sini seperti tidak mengenal rasa lelah. Banyak sekali kebahagiaan yang bisa kurasakan di sini. Layaknya taman rekreasi pada umumnya, terdapat pembagian wilayah untuk wahana dewasa, anak, dan semua umur. Penjual gulali terdapat di tepi jalan dan juga toko souvenir yang cukup ramai didatangi orang tua. Sejak awal, tempat ini memang yang menjadi tujuan Kina. Namun aku tidak menyangka bahwa ia akan sangat menikmati waktu di festival. Jadi kali ini, kami langsung mendatangi wahana panjat tebing yang ternyata cukup sepi!

“Lomba ya, siapa cepat ia boleh memilih wahana selanjutnya yang akan dinaiki!”, ajak Kina. “Eh siapa takut? Setuju. Aku tidak akan kalah.”, balasku pada Kina sambil kami berdua memakai peralatan yang diperlukan.  Sebenarnya aku dan Kina sudah lama tidak latihan fisik, jadi memanjat tebing menjadi salah satu ajang kami untuk bermain sekaligus berlatih. Tidak banyak percakapan yang terjadi saat kami memanjat, namun lebih ke ledekan ke satu sama lain. Sampai akhirnya, aku sampai di puncak lebih dulu daripada Kina. Setelah menyentuh titik puncak, kami langsung turun ke bawah dengan hati-hati. “Lihat kan, aku yang menang!” “Ya ya ya, aku mengaku kalah. Satu permintaan, wahana apa yang kau inginkan?” “Arung jeram!”, ucapku tanpa ragu. Kina sempat menolak karena akan basah-basahan jika memainkan permainan itu. Namun setelah aku ajak berkali kali dengan terus mengingatkan perjanjian di awal, ia akhirnya mau.

Satu jam, dua jam berlalu setelah kami menaiki arung jeram dan menaiki beberapa wahana lainnya. Saat ini bulan mulai muncul namun matahari masih berada di langit. Keduanya seperti sedang berinteraksi untuk berganti posisi menyinari dunia ini. Semangatku dan Kina masih ada, namun tidak bisa dipungkiri hari ini cukup melelahkan. Aku dan Kina yang kini berjalan sambil memakan es krim lalu berhenti karena terpana melihat indahnya cahaya oranye terpantul ke kabin-kabin kereta gantung yang berjalan. Kereta gantung yang cukup tinggi dan rute yang panjang, berjalan dengan tenang ditemani hangatnya sinar matahari sekaligus terangnya sinar bulan yang mulai muncul. “Kereta gantung untuk penutup hari ini?”, tanyaku. “Terdengar bagus.”, jawab Kina sambil menganggukkan kepalanya. 

Kabin nomor 5 adalah kabin yang menjadi tempatku dan Kina. Satu kabin bisa memuat 4 orang, namun kebetulan karena tidak ada lagi antrian di belakang kami, jadi kami bisa masuk ke kabin hanya berdua. Kinasle terdiam sedari masuk ke dalam kabin. Ia hanya melihat ke jendela, memanjakan matanya dengan melihat seluruh taman rekreasi dan festival yang mulai terlihat dari ketinggian. Ia tidak berhenti tersenyum. Aku juga belum memulai percakapan karena pandanganku seperti terpecah fokus antara pemandangan di luar kabin atau di dalam kabin. Kina juga termasuk salah satu pemandangan terindah yang kulihat sekarang.

“Ryusen, pernah mikir tidak bagaimana jadinya jika kita tidak mengenal satu sama lain?”, tanyanya dengan masih menatap jendela. “Entahlah. Mungkin kita sekarang sedang menjalani hidup masing-masing jika itu terjadi. Mungkin kau sedang bersiap untuk berburu dan aku sedang minum teh di teras rumah sambil membaca buku.” “Ya, mungkin. Kupikir aku juga mungkin masih akan memiliki sifat yang sama, yaitu ambisius untuk mengejar hal yang ingin aku dapatkan tanpa berpikir panjang. Kau tahu mengapa aku bicara ini? Sebenarnya aku tiba-tiba teringat saat perjalanan kita mencari Langit Tenggelam ini. Bahkan kala itu, aku masih menjadi seseorang yang ambisius. Hampir terbesit di pikiranku untuk meninggalkanmu bersama reruntuhan kuil kala itu. Mengedepankan keinginanku untuk segera menemukan tempat ini. Tetapi tidak, aku teringat segala kebaikan, rasa nyaman, hangatnya kasih sayang seorang teman, dan juga seseorang yang selalu memberi dukungan ketika aku sedang tumbang. Aku sadar bahwa aku tidak bisa meninggalkanmu, dan aku mensyukuri keputusanku sekarang. Tidak ada rasa penyesalan, ketidakpuasan, atau ketidakbahagiaan yang kurasakan setelah mengambil keputusan untuk terus menemanimu, berjalan bersamamu.”, Kina lalu mengalihkan pandangannya padaku. Aku tidak menyangka Kina akan mengatakan itu, seperti yang pernah kukatakan meskipun ia termasuk blak-blakan namun tetap sulit baginya untuk berbicara hal-hal yang romantis. “Terima kasih kau sudah membuat keputusan itu, terima kasih kau sudah menyampaikan ini kepadaku. Kau tahu Kina, aku tidak merasa takut lagi setelah menghadapi semua hal yang kita korbankan saat itu untuk dapat sampai di sini. Ketidaktakutan itu semua karena aku berjalan bersamamu. Seseorang yang sudah mengisi hari-hariku sejak dulu, tidak pernah menghakimi segala keputusanku, bahkan tanpa lelah menghadapi semua sifat bodohku dulu. Aku yang dulu sangat tertutup, dingin, dan merasa tidak bisa memenuhi harapan yang kumiliki. Terima kasih karena sudah hadir dalam hidupku, memberiku keberanian untuk mengejar semua harapan, memberiku kasih sayang dari yang awalnya seorang teman menjadi pasangan. Semua ini ternyata benar kebahagiaan, yang bahkan tidak pernah aku bayangkan. Kuharap kau juga merasakan hal yang sama.”. Kinasle tersenyum. Matanya sedikit berkaca-kaca namun tidak ada air mata yang turun. Ia seperti tidak ingin mengacaukan kebahagiaan ini meskipun dengan tangis suka cita. Kupeluk Kinasle erat selama beberapa saat, hangat. Hatiku berdesir merasakan detak jantungnya yang cukup cepat dan ia yang lalu menenggelamkan wajahnya pada pelukan.

Tuhan, terima kasih atas segala yang Kau berikan, tetapi ini semua cukup. Aku tidak ingin apa-apa lagi. Kumohon jangan berikan berkat ataupun masalah lain kepada kami. Tak apa jika tak Kau tambahkan, namun tolong jangan dikurangkan. Aku hanya ingin kebahagiaan yang kumiliki sekarang bertahan lebih lama. Ah tidak, aku ingin kebahagiaan ini bertahan selamanya.

“Oh iya Ryusen, masih ingat kan kau berhutang sesuatu padaku?”, “Kau masih ingat rupanya. Apa yang kau inginkan, sayang?”, “Aku hanya ingin kau menjawab  pertanyaan ini.”, “Apa?”, “Apa yang kau pikir akan dilakukan suatu pasangan apabila mereka hanya berdua, duduk tanpa gangguan, di malam festival?”, aku cukup terkejut dengan pertanyaannya. Tapi aku memutuskan untuk melunasi semuanya. “Eum, mungkin mereka melakukan ini?”. Kuraih pelan pipinya agar mendekat ke arahku, kupejamkan mata dan seiring mendekatnya wajah kami berdua, kucium bibirnya lembut. 

Duduk di sini, di sampingmu membuat pikiranku tenang. Duduk di sini, di sampingmu membuatku merasa semua hal baik akan menang.

"Terima kasih, Kina, sayang.”

ART MINT DAY.png
bottom of page