
BOOK 1: THE FARTHEST
Chapter 5:
POINT NEMO
“Aku akan menyelamatkanmu”,
Merupakan kalimat yang akan selalu Ryusen pegang selamanya. Ia lalu mengeratkan Kinasle dalam dekapannya. Dipikiran Ryusen hanya ada satu hal yang harus ia lakukan meskipun tanpa memedulikan keselamatannya, yaitu menyelamatkan Kina. Pulau tempat mereka hendak mendarat semakin dekat. Ryusen memanfaatkan kekuatan terakhirnya untuk memaksimalkan energi dari kalung udara dengan mengabaikan dampaknya. Namun beberapa detik meluncur hanya bisa membuat mereka setidaknya tak terjatuh dari atmosfer. Ryusen menggunakan bahu kirinya untuk mendarat. Pendaratan yang tidak mulus namun cukup untuk membuat keduanya bertahan dan selamat.
Setelah mendarat, Ryusen membaringkan Kinasle di bawah pohon dengan hati-hati. Mereka berada di hutan. Sembari Ryusen menetralkan napasnya dan juga menahan rasa sakit di lengan kirinya, ia mengecek keadaan Kinasle. Syukurlah bahwa Kinasle masih bernapas. Keheningan yang ada membantu Ryusen menenangkan dirinya sendiri. Ryusen mencoba lihat sekeliling dan menemukan sebuah mata air. Ia lalu mengambil sedikit air untuk minum dan membersihkan wajahnya dari kotoran dan darahnya sendiri. Ryusen juga menarik sedikit kain dari bajunya untuk dibasahi oleh air itu. Ryusen kembali ke Kinasle lalu ia membersihkan kotoran di wajah Asle akibat peristiwa yang baru saja mereka alami. Diusapnya dengan lembut dan tetap berhati-hati. Setelah beberapa saat Ryu membersihkannya, mulut temannya itu sedikit terbuka seperti ingin mendapatkan lebih banyak udara. Gerakan itu diikuti oleh kedua kelopak mata yang mulai membuka. Kinasle, temannya akhirnya terjaga.
“Dimana.. pusing.. ah Ryusen? Astaga syukurlah kau di sini! Bagaimana keadaanmu? Apakah ada yang luka? Coba kulihat.”, Kinasle dengan cepat langsung terduduk sambil memegang kepalanya meskipun satu tangannya yang lain memegang lengan Ryusen untuk memastikan ia baik-baik saja. Dihadapkan dengan ini semua Ryusen merasa sedih dan terharu. ‘Bagaimana bisa perempuan ini memiliki hati yang begitu lembut?’, gumam Ryu dalam hati. ‘Padahal yang baru saja pingsan adalah dirinya sendiri, tapi begitu sadar ia masih saja memikirkan orang lain.’. ucap Ryusen di dalam hati tapi dirinya mulai bergetar karena menahan tangis. Apa daya, Ryusen tak kuasa lagi menahan tangis sehingga semuanya keluar begitu saja. Ryusen menunduk dan berusaha menutupi wajahnya, tak bisa berkata apa-apa. Beberapa saat kemudian Ryusen akhirnya mengatakan, “Terima kasih Kina, aku baik-baik saja. Bahkan sangat baik. Terima kasih, terima kasih banyak.”, suaranya bergetar. Ryusen mengucapkan itu sambil menangis cukup keras.
Kinasle yang melihat temannya seperti itu menjadi sedikit kebingungan. Tetapi akhirnya ia menyadari apa yang sedang terjadi. Ia tersenyum lebar dengan tangannya yang kemudian menyentuh rambut Ryusen. Ia mengusapnya, “Hei. Kita kan teman, tidak apa apa. Sudah tugas kita untuk menjaga satu sama lain. Kita tidak punya orang lain sekarang.” Pelukan itu dilepas Ryusen. Matanya masih memancarkan rasa kekhawatiran, “Kau bagaimana? Apakah masih ada yang sakit? Bagaimana perasaanmu? Kita cari tempat istirahat dulu ya.” Tipikal Ryu saat sedang khawatir, berisik sekali. Kinasle menanggapinya dengan senyum tipis, “Aku baik! Lihat saja nih.”, ucap Asle yang kemudian mencubit pipi Ryusen. “OW! Maksudnya apa itu? Itu tidak membuktikan kalau kau baik-baik saja tahu!”, gerutu Ryusen. “Haha, itu untuk kau yang menggunakan kekuatan terakhirmu tanpa hati-hati!”, ucap Kinasle yang tersenyum puas. Ryusen tak menerima semua itu, ia lalu melakukan hal yang sama. Namun ketika ia sudah bersiap mencubit pipi Kinasle, ia malah memutuskan untuk menyentil dahi temannya itu. “Dan ini untuk kau yang telah mempertaruhkan nyawamu dan menghancurkan bebatuan itu.”, Kinasle tidak mempersiapkan ini sebelumnya, pipinya sedikit memerah. “Terima kasih banyak, Kina.”, ucap Ryusen sambil tersenyum. “Sama-sama dan terima kasih juga, Ryu.”
Sakit tetaplah sakit, Kinasle tentu saja menyadari bahwa tangan kiri temannya itu tidak baik-baik saja. Seperti ranting yang tergantung dan terlihat rapuh, tangan kiri Ryu ternyata patah tulang. Kinasle lalu mencari papan kecil dan mengambil sebuah syal dari dalam tasnya untuk meminimalisir pergerakan dari tulang Ryu yang patah. Setelah merasa cukup energi, mereka berdua mulai berjalan menyusuri hutan di daratan tersebut.
15 menit sudah berlalu, mereka berjalan tanpa ragu ditemani burung burung berlagu. Pulau yang mereka darati tak seindah itu, namun cukup untuk menenangkan diri pasca beradu dengan musuh. Obrolan di antara mereka tidak dapat dihindari, “Kau tahu tidak tadi ketika kita masih terjatuh dari atas kuil, aku sempat sesuatu di utara sana.”, ucap Ryusen. “Apa itu, Ryu?”, “Sebuah gunung!”, “Gunung?”, “Ya! Gunung yang memiliki dua puncak. Sekarang aku jadi berpikir, mungkin kah itu yang menyelamatkan kita karena saat aku melihatnya,--”, “daratan terasa semakin dekat dan kau semakin merasa baik.”, Kinasle menyelesaikan kalimat Ryusen. “Menarik. Kok aku merasa familiar ya dengan gunung yang memiliki dua puncak?”, ucap Kinasle kebingungan. “Huh? Masa iya? Mungkin kau pernah melihatnya di suatu tempat?”, “Um mungkin. Tapi kupikir kita harus berterima kasih kepada gunung yang telah menyelamatkan kita itu.”, ucap Kinasle dengan penuh penghargaan. ‘Dia baik sekali.’ Setelah percakapan itu, sesuatu tiba-tiba muncul dari pikiran Kinasle. “Ryu, kau bisa berlari? Kupegang tangan kananmu ya, sekarang ayo cepat!”, ucap Kinasle yang langsung menarik tangan kanan Ryu lalu berlari. “Eh?, Kok? Kita mau kemana?”, tanya Ryusen tanpa ada jawaban dari Asle.
Berlari saja bahkan seperti ia tidak habis kesakitan, energi Asle full full saja. “Ryu, kau ingat ukiran yang kita lihat di kuil?”, tanya Asle masih sambil berlari bersama Ryusen. . “Yang kita kira peta? Yang terlihat seperti pulau langit dengan kota maju di atasnya?”, “Ya. Tapi sepertinya bukan.”, “Huh?”, “Itu bukan seperti yang kita pikirkan pada awalnya.”, “Lanjutkan.”, “Sebenarnya itu--”, Kinasle berhenti bicara dan juga berhenti berlari. Ia berhenti agar mereka bisa melihat pemandangan yang ada di depan mata mereka. “Sebenarnya itu adalah kota maju yang berada di dekat gunung.”, Kinasle melengkapi kalimatnya. Empat manik mata itu membesar.
Yang mereka berdua lihat saat ini adalah persis seperti yang Kinasle katakan. Cahaya terang terpancar dari kota besar yang maju dan memancarkan kehidupan. Cahaya-cahaya itu menghasilkan pemandangan malam yang sangat terang. Semuanya datang dari lampu kendaraan, lampu jalan, gedung-gedung, bahkan rumah warga sekitar. Kotanya memiliki banyak gedung tinggi yang bahkan tingginya menyaingi awan. Jika dilihat lebih jauh lagi, di sekitarnya terdapat gunung dengan dua puncak. Ternyata itu dia.
“Ini, ini--”, Ryusen kesulitan menemukan kata yang mampu menggambarkan perasaannya. Di sampingnya terdapat Kinasle yang masih bergeming, tak mengalihkan pandangannya. Kinasle lalu melanjutkan kalimat Ryusen,
“Langit Tenggelam yang Paling Jauh.
