
BOOK 2: THE SUNKEN
Chapter 6:
lie down
Hari ini tak begitu banyak pengunjung mendatangi kedai teh ku. Biasanya orang-orang di sini mampir ketika jam makan siang dan sore menuju malam. Terkadang aku juga bingung sekaligus senang karena banyak orang memilih kedai kecilku untuk bercengkrama dengan orang-orang terdekatnya. Menghabiskan waktu bersantai atau beristirahat di tengah padatnya hari-hari mereka. Seperti yang kukatakan sebelumnya, hari ini cukup sepi. Karenanya, aku dan Tekkai, seorang karyawan part-time di kedai, jadi dapat mengobrol ringan. Tekkai berusia lebih tua dari ku. Bahkan ia sudah memiliki istri. Ia ramah dan senang berbicara dengan orang lain. Mendengar cerita tentang keluarganya adalah hal yang biasa kudengar sehari-hari. “Pak Tekkai, aku ingin menjemput Kina. Tolong jaga kedai ya selama aku pergi.” “Siap, tuan muda.” “Kau tahu kan kalau tidak perlu memanggilku seperti itu?”, tanyaku sebelum pergi. Tekkai selalu saja seperti itu. “Tapi itu memang keinginanku untuk memanggil Tuan seperti itu.” “Ya sudah deh. Oh ya, kalau aku tidak kembali pada pukul 6 nanti, kau boleh tutup saja kedainya ya. Jangan lupa bawa kunci kedai bersamamu. Pulang lah lebih awal, habiskan waktu dengan keluargamu. Hari ini juga tak seramai biasanya, jadi tak apa.” “Paham!”. Ucapan Tekkai mengakhiri percakapan kami. Aku pun berjalan keluar menuju pintu kedai, namun tiba-tiba aku teringat sesuatu. ‘Tanyakan sekarang kali ya.’, batinku. “Pak Tekkai,” “Ya, tuan muda?” Terjeda kikuk percakapanku, tak tahu harus bertanya atau tidak. Tapi lanjutkan saja lah. “Bagaimana caramu mengutarakan perasaan kepada seseorang?”
Diam yang terjadi beberapa saat kembali muncul, duh kan. Pak Tekkai menghancurkan diam itu dengan kekehannya. “Mengutarakan perasaan, ya? Apa kau berencana mengatakannya pada Kinasle?”, tanyanya sembari aku berusaha menghilangkan rona di pipi. Malu rasanya, mengapa aku bertanya seperti itu sih. “Aku? Ah tidak. Masa iya? Eum, aku – aku hanya bertanya untuk temanku kok! Mungkin?”, Sekarang malah terdengar makin jelas. “Ya… Apakah aku terlalu terbaca?”, ucapku sambil menghela napas. “Haha! Sepertinya ini kali pertama kau tertangkap basah, huh? Tidak kok, aku tidak berpikir itu terlalu jelas terbaca.”, Tekkai tersenyum. “Baiklah kembali ke topik. Mengutarakan perasaan ya? Hm, kupikir kau hanya perlu jujur dan langsung saja katakan padanya.” “Wah saran yang sangat membantu, Pak Tekkai.”, ucapku sarkas. Ya kalau itu sih aku juga tahu, huh. “Tetapi benar, tuan muda. Itu yang kulakukan ketika mengutarakan perasaan pada istriku. Kuberitahu ya, jika kau terlalu memikirkan bagaimana cara mengatakannya, kau tidak akan bisa mengucapkannya. Kata-kata itu tak akan keluar dari mulutmu, dan setelah itu terjadi, kau akan kehilangan kesempatanmu. Pokoknya kau katakan saja, percaya padaku perasaanmu setelah ia mengatakan ‘ya’ benar-benar tidak dapat diukur dari kebahagiaan apapun.”, ucap Tekkai. Oke sekarang pria ini benar-benar menunjukkan padaku siapa yang lebih berpengalaman di sini. “Baiklah, sepertinya aku paham. Ya sudah, aku pergi sekarang ya. Sampai jumpa!”, ucapku seraya keluar kedai. Kina seharusnya keluar satu jam dari sekarang. Kupikir aku masih bisa menyiapkan sesuatu dulu, hari ini juga tepat satu tahun kami berada di sini.
...
Saat ini pukul 06.30 ketika Kina keluar gerbang kantor dan mendapatiku dengan dua buah es krim. “Es krim?”, sodorku padanya. “Terima kasih. Kok jadi baik?”, candanya sambil mencurigaiku. “Yaa, hari ini kedai tidak terlalu ramai seperti biasanya. Jadi aku punya waktu cukup untuk membeli ini sebelum menjemputmu.” , jawabku dan kami mulai berjalan. “Oh begitu, tak apa aku jadi senang setidaknya kau punya waktu istirahat.” “Bagaimana harimu?”, tanyaku padanya. “Oh hari ini cukup padat! Bahkan tadi aku mengikuti tiga rapat.”, Kina mulai memakan es krimnya. “Pasti melelahkan, ya?”, “Ha aku tahu! Bagaimana kalau kita mampir dulu ke kedai teh mu?” “Yah, sepertinya tidak bisa. Tadi aku meminta Pak Tekkai untuk menutup kedai jika pukul 6 aku belum kembali ke sana. Kuncinya juga ia bawa. Kukatakan saja bahwa ia bisa pulang lebih awal untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya, toh juga kedai tidak terlalu ramai.”,”Oh begitu. Kok hari ini kau terlihat sangat baik ya? Ada apa dengan Ryu?”, ucap Kina yang masih saja meledekku. “Hari ini?”, “Yap.”, “Hanya hari ini?”, “Iya.”, “Jadi ini balasan yang kudapat dari semua perbuatan baikku?”, “Kurang lebih.”, “Huh, oke lah. Mungkin iya.” , “Hahaha, gemas. Aku bercanda Ryu, kau memang selalu baik!”, Kina tersenyum padaku. Oh tidak, aku malu, tapi bagaimana, mataku malah semakin membesar melihat senyumannya! Di luar aku bisa memberikan senyuman balik padanya, tapi coba dia tahu bahwa sebenarnya aku sungguh tidak baik-baik saja. Duh Ryusen, apa ini, sejak kapan aku jadi salah tingkah melihat senyumannya. Aku harus segera mengalihkan pandangan darinya! “Jadi hari ini tidak mampir ke kedai, huh? Ya sudah, berarti kita bisa langsung pulang ke ru--”, belum selesai bicaranya kali ini ku sela. “Aku tahu suatu tempat.”, “Tempat apa?”, yah sepertinya ia tidak menangkap ucapanku. “Aku tahu suatu tempat, maukah kau menemaniku ke sana?”, kali ini aku memberanikan diri menatapnya. “Oh, hmm, boleh sih. Tapi apa kau tahu di mana tempatnya? Maksudku kita kesana jalan kaki, atau, ya kau tahu, jika ya, mungkin aku perlu ganti baju terlebih dahulu? Bolehkah?”, Perasaanku saja atau memang Kina terlihat agak gugup. Ia memainkan jarinya. Dia... DIA MALU? PIPINYA SEPERTI MEMERAH. APA AKU TAK SALAH LIHAT? Selepas itu, aku mengantar Kina ke apartemennya untuk berganti baju. Aku yang menunggu di lobby tak lama mendapati perempuan itu berlari kecil menuju ke arahku. Sebenarnya aku sudah berencana mengajak Kina ke tempat itu sejak hari pertama, siapa sangka butuh waktu yang cukup lama untuk saat ini tiba. Kami pun akhirnya berangkat dengan penuh suka cita.
Prakiraan cuaca menunjukkan malam ini langit akan cerah, sehingga kami bisa melihat bulan dan bintang dengan sangat jelas sesampainya di sana. Saat ini aku dan Kina berada di sebuah rooftop dari gedung yang sudah tidak digunakan, bahkan orang-orang mungkin tak tahu ada tempat sebagus ini dari atas gedung. Tidak ada yang mengetahui tempat ini, tidak ada yang memilikinya, bahkan tidak pula ada orang yang ingin memilikinya. Saking tuanya, lumut dan rumput liar nampak tumbuh dari dinding dan langit-langit. Besinya pun sudah berkarat. Tempat ini biasa aku gunakan untuk berlatih mengoptimalkan kembali kekuatanku. Aku hanya membersihkan bagian atas, kubuat taman kecil dan menyediakan sebuah sofa juga meja. Satu-satunya sumber pencahayaan adalah lampu dari gedung-gedung lain dan beberapa lampu minyak yang kunyalakan. Tentu saja, Kina menjadi salah satunya saat ini.
“Apa kau suka dengan dekorasi yang kubuat, Kina?”, tanyaku lembut. “Hm..”, diamnya sebentar, lalu ia melanjutkan, “Ini sangat cantik, Ryu. Aku menyukainya.”, senyum itu merekah kembali. “Sebenarnya aku berencana untuk membagikan tempat ini denganmu, jika kau mau. Maksudku, kau tidak harus mau. Tapi jika---“ , “Ryu,”, aku berhenti bicara saat tetiba ia memanggil namaku. “Aku mau. Terima kasih sudah mau membagikan ini bersamaku ya.” , Semua kata yang diucapkan benar-benar masuk tepat sasaran. Aku merasa seperti ditahan satu bulan, oh Tuhan. Kami pun duduk di sofa, bercengkrama sembari minum soda. Tak terasa beberapa jam sudah terlewati. Di kepalaku, banyak sekali yang aku pikirkan termasuk rasa gugup ketika mengingat aku ingin mengutarakan segalanya di malam itu. Aku bisa merasakan kupu-kupu di dalam perutku seperti kian bertumbuh menjadi naga yang besar. Kuat sekali perutku dibuat tak nyaman. Terlepas dari itu, Kina benar-benar cantik malam ini. Pandanganku fokus pada mata birunya yang kali ini tidak menusuk tajam, melainkan tenang dan menenangkan. Aku menjadi tidak percaya bahwa ia adalah pemburu di kehidupan sebelumnya. Oh Ryu, dia menyadari tatapanmu!
“Ryu, ada apa? Kau baik saja?”, tanyanya. “Ya, aku baik. Mengapa tidak? Apa wajahku terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu?”, “Tidak, bukan wajahmu. Matamu.”, “Hahaha, ada apa dengan mataku?”, tawaku benar-benar terdengar aneh. Belum apa apa sudah memalukan saja kau Ryusen! “Tatapanmu saat ini sama seperti yang kulihat saat aku terbangun di hutan, pertama kali kita menemukan tempat ini.” “Ah iya, tapi tidak ada apa apa kok.”, Ya sebenarnya ada apa apa. Pikiranku sedang dipenuhi dirimu sekarang, Kina. Aku lalu melihat ke bentangan langit yang indah malam itu. “Ryu,” Panggilnya membuatku menoleh. “Aku ingin mengatakan sesuatu”, ucap Kina. Kali ini jantungku benar-benar berdegup kencang. Sebelum aku bertanya, ia lebih dulu melanjutkan kalimatnya. “Aku sudah memikirkan ini sejak lama, aku bingung harus mulai darimana. Bahkan tidak tahu harus bilang dengan kata-kata apa. Jadi,” , “jadi?”, aku bertanya dalam hati. “Jadi mungkin ini bisa membantu.” Dikeluarkannya sebuah kotak aksesoris dari tas selempangnya, ia berikan padaku. “Selamat memperingati satu tahun keberadaan kita di sini, Ryu. Ini lah yang aku rasakan, ini yang bisa aku berikan.” Suaranya kecil sekali namun sangat lembut, seperti suara yang seharusnya hanya ia keluarkan dalam pikiran saja. Ternyata, itu sepasang anting. Anting yang sangat indah dengan warna kuning dan aksen ungu di sana. Itu terlihat agak berlawanan dengan antingku sebelumnya, dan itu terlihat lebih halus pula. Aku sangat menyukainya. “Ini merupakan hadiah terbaik yang pernah aku terima, benar-benar cantik. Aku sangat senang. Terima kasih, Kina.” ,ucapku dengan penuh senyuman. Sepertinya itu adalah senyum terbesar yang pernah aku beri kepada orang lain. “Sama-sama. Aku juga senang kau menyukainya.”, “Um, jadi sudah boleh kupakai?”, tanyaku. “Tentu saja! Butuh bantuan?”, “Jika kau tak keberatan.”, “Tidak tidak. Sini aku bantu.” Aku benar-benar salah tingkah! Pipiku memerah namun begitu pula dengannya. “Bagaimana?”, tanyaku tak lupa sambil tersenyum ke arahnya. Alih-alih menjawab pertanyaanku, ia malah mengalihkan pandangannya. Entah mengapa aku jadi lebih berani, kusingkap rambut jatuhnya ke belakang telinga, “terima kasih banyak.”, bisikku. “Sama-sama.”, jawabnya masih dengan pipi yang merona.
“Hm Kina, karena ini tepat satu tahun kita berada di sini, mengapa tidak kita coba melakukan sesuatu?”, ucapku sembari berdiri dan berjalan ke bagian tengah rooftop dan menghampirinya. “Seperti?”, “Bagaimana jika seperti ini, masing-masing dari kita boleh meminta satu permohonan tentang apapun selama masih sanggup memberikannya?”, “Apapun?”, “Ya!”, “Boleh juga.”, Kina mengangguk setuju. “Oke Kina, aku yang pertama. Permohonanku adalah kau bangun dan berdiri di hadapanku.”, “Apa?”, “Kurang jelas? Kinasle Sirenetaki?”, Akhirnya aku menyebutkan nama belakangnya. Matanya melebar dan ia terlihat sedang mempersiapkan dirinya lalu berdiri di hadapanku. “Baiklah, Ryusen Harunakata. Sekarang apa?”, “Kina, sudah satu tahun kita di sini. Tapi kupikir itu tidak mengubah perasaanku padamu, nyatanya justru bertambah. Semakin bertambah setiap harinya seiring kita menghabiskan waktu bersama. Lebih dari itu, aku menjadi yakin. Semakin sedikit kata yang kuucap, semakin banyak pikiran-pikiran yang berputar di kepalaku, tentang dirimu. Namun pada akhirnya tetap tak ada kata yang terucap. Aku ingin memberitahu, membagikan semua yang tak bisa kusebutkan, jadi—”. Aku berhenti, mengumpulkan energi panas dari tanganku dan kemudian melepaskannya. Energi panas yang mulai menyebar kemari dan kesana, menyalakan beberapa benda.
"Semua ini kuperuntukkan atas banyaknya kata yang tak dapat kuucap. Ini lah yang kurasakan, Kina.”
Ratusan lampion terbang dari bawah bangunan, berbentuk hati. Cahayanya menyerbak mewarnai langit malam menjadi merah, jingga, dan beberapa di antaranya merah muda. Bintang-bintang terasa lebih dekat. Indahnya cahaya menerangi malam yang membuat bulan malu karena kalah sinarnya. Sungguh pemandangan yang indah dan romantis. Rooftop dari gedung yang tak lagi terurus, meskipun sepi, tapi indah sinarnya ditemani sinar cahaya mu, ini seperti mimpi. Meskipun indah, tetapi aku lebih memilih melihat wajahmu dan ekspresi yang menggemaskan itu. Matamu seperti memuja keindahannya, kau benar-benar sibuk mengabadikan momen itu dengan seluruh pandanganmu. Sampai akhirnya kau kembali dari pandanganmu, kepadaku. Kegugupan ini kembali karena kau memperlihatkan senyum indah itu. “Kina, aku..”, kata-kata itu tak mau terucap. Sembari aku merangkai kata yang tepat, tanganku semakin berkeringat, dan adu pikiranku semakin menguat. Aku tidak bisa mengutarakannya. Kuhela nafasku dan sudah bersiap untuk membatalkan semua ini. Tetapi ketika aku melihat wajahmu,
Jika kau terlalu memikirkan bagaimana cara mengatakannya, kau tidak akan bisa mengucapkannya. Kata-kata itu tak akan keluar dari mulutmu, dan setelah itu terjadi, kau akan kehilangan kesempatanmu. Semua kata itu keluar secara tiba-tiba.
“Aku mencintaimu. Kumohon jadilah kekasihku.”
Semua kata itu keluar secara tiba-tiba bersamaan dengan aku memegang tanganmu. Pengakuan, aku mengutarakannya. Tanganku yang satu lagi meraih sebuah kotak dari saku, sebuah kotak cincin kuberikan padamu. Matamu melebar, rasa senang kau pancarkan, bersamaan dengan air mata haru sungguhan. “Ya.”, jawabmu. Aku tak kuasa menahan kebahagiaan seraya memeluk dirimu, lalu memasangkan cincin itu di jari manismu. Cincin dengan ukiran burung yeoli. “Kau menyukainya?”, tanyaku. “Aku menyukainya..”, jeda Kina sesaat. “..Aku juga menyukai dirimu.”, lanjut mu dengan penuh senyum. Tak mau kalah, senyumku juga lepas begitu saja ditemani dengan mata yang berkaca-kaca. “Ryusen, tadi kamu bilang kita bisa meminta satu permintaan apapun untuk satu sama lain kan?.”, “Iya, aku bilang begitu.”, “berarti aku bisa memintamu memberikan aku apapun kan?”, “ya selama aku bisa memberikannya.”, “apapun kan?”, ucapmu sembari meletakkan jemari mu di pipiku lalu menautkan bibirmu padaku.
[Ryusen dan Kinasle resmi menjadi sepasang kekasih]
