top of page
BOOK 2: THE SUNKEN

Chapter 10:

regret

Kina, kina, kina, kina, kina, KINA!

Kali terakhir aku meneriaki namanya bersamaan dengan terbangunnya aku dari tidur. Ternyata hanya mimpi, mimpi buruk. “Sial, bahkan sekarang aku sampai memimpikannya. Ah, aku benar-benar tak berdaya.”, gerutuku sambil merapikan diriku yang baru bangun. Aku tertidur di sofa rooftop ketika seharusnya ‘aku menjemput Kina.’  Sebenarnya Tekkai sudah tahu ceritanya, namun ia masih saja membiarkanku pergi setiap sore. Aku harus memberikannya sesuatu sebelum pergi, kenang-kenangan. Hanya satu bulan sebelum aku kembali ke desa. Jadi aku harus mempersiapkan segalanya agar keberangkatanku tidak memberatkan Tekkai …. dan juga dia. Tapi aku yakin ia baik-baik saja. Aku lalu bersiap untuk kembali ke kedai teh. Sudah berjalan 5 minggu sejak terakhir kali aku benar-benar melihatnya. Saat itu aku melihatnya sedang berjalan dengan rekan kerjanya. Yah, semuanya terasa mengganggu saat aku melihatnya sedih tanpa kehadiranku di sana.

Tapi mengapa rasanya jauh lebih mengganggu saat aku melihatnya bahagia tanpaku?

Payah kau, Ryusen. Mengapa aku sangat egois, mengganggu, dan menjadi pembuat masalah.  Ya lalu mengapa jika ia tetap baik saja, bahkan secerah biasanya di hadapan orang lain? Jadi ini yang namanya cemburu? Seharusnya aku tak berpikiran panjang, selama Kinasle bahagia.

Dengan atau tanpa diriku.

Setelah menyiram tanaman, aku pergi untuk kembali ke kedai. Di jalan aku berpapasan dengan seorang laki-laki bersama anaknya yang sedang berjalan pulang. “Selamat sore!”, anak itu menyapaku. “Ah, selamat sore! Semoga hari kalian menyenangkan.”, balasku menyapanya. Ayah dari anak itu tersenyum bangga karena anaknya baru saja bersikap ramah dengan orang lain, mungkin itu yang ditanamkan di keluarganya sejak kecil. Menyenangkan bukan? Hidup bahagia di sebuah kota yang memang seharusnya menjadi sumber kebahagiaan, memiliki hidup yang panjang untuk terus mengantar jemput anaknya ke sekolah. Melihat pemandangan tadi cukup menghangatkan hatiku meskipun cuaca akhir-akhir ini semakin dingin seiring dengan musim yang ada.

Bahagia di sebuah kota yang memang seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan

Aku bahagia saat sampai di tempat ini, namun kebahagiaan itu berlalu dengan cepat. Mimpi yang selalu aku harapkan, yang kupercaya akan memberikan kebahagiaan padaku berlalu begitu saja hingga aku tak bisa mengingat semua rasa itu. Sebenarnya, semua hal itu memang membuatku bahagia. Tapi itu kebahagiaan karena aku berhasil menemukan tempat ini bersamanya, tidak, karena aku berhasil menemukan tempat ini untuknya. Semuanya karena aku bahagia bisa terus bersama Kina. Pergi bersamanya, menghadapi segala sesuatu berdua, dan menjadi kekasihnya. Semuanya karena hal-hal bodoh yang kami lakukan, namun hal bodoh itulah yang mengisi hatiku, menghangatkan hatiku. Tapi, satu hal penting yang kutahu adalah kebahagiaan di sini tidak bertahan selamanya. Kebahagiaan di sini lama kelamaan juga bisa hilang sampai akhirnya rasa semangat yang hadir tak lagi sama. Ah, pemikiran-pemikiran ini semakin membuatku ingin bertemu Kina.

Kebahagiaan yang sementara

“Selamat sore, Pak Tekkai!”, sapaku ke Tekkai sesampainya aku di kedai. “Selamat datang kembali, tuan muda.”, “Adakah sesuatu yang kulewatkan sejak aku pergi?”, “Oh, ya ada sesuatu yang sangat kau lewatkan, tuan.”, "Haha, bagus sekali. Tapi serius, memangnya apa?", tanyaku. "Kinasle, ia baru saja pergi sebelum sesaat kau sampai di sini.", ucap Tekkai. Mataku terbelalak kaget, aku tidak membalas perkataan Tekkai itu karena aku langsung buru-buru keluar mencari Kina. Aku tidak tahu ia di mana, tapi jika aku mencari ke apartemennya mungkin aku bisa mengejarnya. Aku langsung menaiki jembatan penyebrangan, namun siapa sangka langkahku langsung terhenti karena melihat seseorang yang sedang kucari, Kinasle. Sepertinya ia bahkan menyadari napasku yang sangat terengah, bukan hanya karena terkejut kita bertemu kembali. Namun aku lebih terkejut karena sekarang ia memutar badannya, menatap ke arahku.

Pertemuan yang tak disengaja

Ia menatapku, namun tanpa senyum. Yang ada hanyalah tatapan datar. Rasanya aku ingin memulai pembicaraan, tapi apa? Berteriak memanggil? Menyapa? Atau hanya bilang 'hei'? Atau tiba-tiba menangis? Atau mengatakan 'aku mencintaimu'?. Terlalu banyak berpikir. Pada akhirnya tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutku. Aku menghela napas, yang terasa adalah kekecewaan, frustasi, dan penyesalan. "Pak Tekkai memberitahuku semua rencanamu.", ucapnya. Ia tidak pernah bicara se-langsung ini tanpa basa basi. Apa yang terjadi padanya? "dan ia meminta aku untuk bicara padamu, membujukmu agar kau tak jadi pergi. Dia bahkan memintaku untuk berpikir ulang akan keputusanku untuk meninggalkanmu.", lanjutnya. "Lalu?", " Entahlah, aku tak terlalu memikirkannya.", "Baiklah..", ada jeda cukup panjang dari omonganku ini. "Kina.", panggilku. "Ya?", "Aku minta ma--", "Jangan.", "Apa?", "Jika kau ingin minta maaf, maka jangan.", "Mengapa? Apa karena semuanya sudah terlambat?", "Bukan.", "Lalu mengapa?", "Karena kupikir memang tidak ada yang perlu dimaafkan.", mendengar ucapannya itu aku jadi perlahan tersenyum. Matanya melebar, "Ya… Mungkin kau benar.", ucapku. , " Lucu, padahal Pak Tekkai yang memintaku unuk bertemu denganmu. Eh tapi kau malah yang lebih dulu menghampiriku. Ryu, jika kau kembali ke desa kita, tolong sampaikan ke keluargaku bahwa aku baik-baik saja ya. Mereka tak perlu khawatir.” “Jika aku kembali, aku tak hanya akan bilang itu ke mereka.”, “Maksudmu?”, “Aku akan memberitahu semuanya. Aku akan bilang betapa kuatnya kamu, baiknya kamu, aku akan bilang bahwa kau pernah menyelamatkanku, aku akan bilang bahwa kau  masih dan akan selalu jadi yang terbaik dari semua manusia yang kutemui.”, aku merasa sedikit tak bisa menahan diri. “Terima kasih, Ryusen. Kau memang selalu baik.”, ucapnya dengan wajah yang seiring bersinar kembali. “Kina, apa kau juga akan pergi dari sini untuk menjadi Langit Tenggelam yang Paling Jauh yang sebenarnya?”, “Aku juga meyakinkan diriku. Tapi mungkin aku baru berangkat awal tahun depan.”, “Oh begitu.. Semoga lancar.”. “Terima kasih, Ryu.” Ia terdiam sesaat. “Ryu, waktu itu di apartemenku, aku sadar kalau aku teralu kasar dan tidak memikirkan perasaanmu. Tak seharusnya aku berteriak seperti itu. Aku hanya takut. Aku takut kau akan pergi, takut kau akan meninggalkanku. Aku takut kau akan menemukan seseorang yang lebih baik dari ku. Aku takut kau tidak lagi mencintaiku tapi pada akhirnya, aku lah yang memintamu pergi. Aku mendorongmu pergi dari kehidupanku. Sekarang, aku sudah bisa mengurangi ketakutanku kecuali satu.” Ia berhenti. Rasanya ingin sekali bertanya apa yang ia maksud namun aku memilih membiarkannya menjelaskan itu sendiri. “Aku benar-benar takut,  apa yang kau bilang adalah faktanya.”, Kina tersenyum tapi aku bisa melihat matanya menahan air mata.”Kina, kalau kau ingin mencari kebahagiaanmu, pergilah. Cari dan temukan. Mungkin kau baru akan menemukannya saat berusia 30 atau bahkan 50 tahun. Tak apa, carilah hal yang kau percayai. Temukan penerangmu sendiri. Sesekali kau itu perlu untuk memikirkan dirimu sendiri. Aku justru akan lebih bahagia jika kau bisa membuktikan kalau ucapanku salah. Tapi, jika kau nanti sudah lelah mencari, ingin beristirahat, ingin menata ulang semuanya, atau bahkan jika kau pada akhirnya memiliki pandangan yang sama denganku, ingat bahwa aku akan selalu ada. Aku akan menunggumu dengan sabar, tanpa mengurangi rasa syukur, dan dengan senang hati. Jika kau kesulitan untuk menemukan rumahmu, biarkan aku yang menjadi hal itu. Aku akan selalu menunggumu karena aku tak akan kemana-mana. Kapan pun itu.”. Mendengar semua ucapanku, ia tak kuat lagi menahan tangis. Ia membuka lengannya dan langsung memelukku. Aku menerima pelukan itu dengan hangat. “Sejak kapan, Ryu? Sejak kapan kau jadi sebagus ini dalam berkata-kata huh? Dan lagi, sejak kapan kau jadi lebih tinggi dan pundakmu semakin lebar?”, “Haha. Aku masih Ryu yang sama, Kina. Ryu yang selalu menjadi teman latihanmu, teman kelas, sahabat, teman petualang, lebih dari teman, pacar, atau apapun yang kau tetapkan. Aku masih Ryu yang sama.”, “Terima kasih lagi, Ryu.”, ucap Kina sambil mengeratkan pelukannya. “Dengan senang hati, Kina.”. Ia sudah bisa tersenyum, kembali dengan senyumannya yang cerah setelah ia membasahi kimono dan kaosku dengan air matanya.

Cahaya yang Hangat setelah Badai

“Oh ya Kina, aku juga akan memberitahu orangtuamu satu hal lagi.”, ucapku. “Apa?”, “Bahwa aku mencintaimu.”,  setelah aku mengatakannya, pipi Kina sedikit memerah. “Katakan padanya bahwa aku juga mencintaimu.”, ucap Kina. “Tentu!”, “Jadi Ryu, mungkin ini pertemuan terakhir kita jadi mungkin juga ini waktu yang pas untuk aku mengatakannya.”, “Memangnya apa?”, “Jika kau melihatku lebih bahagia dengan orang lain, itu fana. Aku bisa jamin kalau nyatanya aku jauh lebih bahagia saat bersamamu.”, ucap Kina dengan senyumannya. Persis seperti rusa yang tertangkap cahaya, aku hanya bisa terdiam. Aku tidak bisa mengekspresikan semua kelegaan yang aku rasakan. “Selamat tinggal, Ryusen Harunakata.”, ucapnya sembari berjalan melewatiku. Aku bahkan tidak sadar kalau kami sampai berputar saat berpelukan tadi. Karenanya, Kina harus melewatiku jika ingin pergi ke apartemennya. Perpisahan ini sangat menohok. Tapi perpisahan ini juga melegakan dan bisa membuatku tenang karena dilakukan dengan cara yang baik. Tanpa merusak keadaan menjadi lebih buruk. Aku memutar badan dan meneriaki namanya. Setelah mendapat perhatiannya, aku mengatakan,

“Sampai jumpa lagi, Kinasle Sirenetaki!”

ART REGRET 2.png
bottom of page