
BOOK 2: THE SUNKEN
Chapter 5.5:
THE SUNKEN SKY
Semuanya telah berubah. Sudah hampir satu tahun aku dan Kina menetap di sini, di Langit Tenggelam. Setidaknya itulah yang disebutkan oleh penduduk di tempat ini, sudah menetap berarti tidak lagi jauh. “Hanya orang luar yang menyebutnya ‘terjauh’.”, kata mereka. Tempat ini dinamakan Langit Tenggelam yang Paling Jauh karena saat pertama kali ditemukan, tempat ini cukup berbeda dari pulau biasanya karena memiliki daratan yang lebih rendah, seperti langit yang tenggelam. Tempat ini bagaikan keajaiban. Kota yang maju, gedung-gedung pencakar langit yang menembus awan, bahkan malamnya yang sangat terang melebihi Clear Sky ku. Kota yang indah ini dibangun oleh penduduk setempat, orang-orang yang lebih dulu menemukan tempat ini daripada aku. Oh ya, semua orang yang berhasil sampai di sini tak ada yang kembali ke tempat asal mereka sehingga kebenaran akan tempat ini memang tidak terungkap di luar sana. Mitos, kata mereka yang di luar Langit Tenggelam. Diketahui juga bahwa tempat ini akan memberi semua penduduknya umur yang lebih panjang. Aku pun terkejut, ternyata ada keluarga kami yang tinggal di sini dari berbeda generasi. Seperti yang tadi kukatakan, umur panjang bagi seluruh penduduk tempat ini. Berkat itu semua, ternyata keluarga Kinasle memiliki kekayaan yang cukup banyak di sini. Kina bekerja di perusahaan keluarganya sebagai sekretaris. Ia tinggal di apartemen, tepat di jantung kota ini. Sedangkan aku, di sini hanya ada beberapa aset keluargaku tapi tidak ada kebiasaan tertentu. Oleh karena itu aku membuka sebuah kedai teh kecil. Aku tinggal di rumah kecil dekat apartemen Kina. Setiap sore aku menjemput dan pulang ke rumah bersamanya. Terkadang kita juga mampir di kedai teh milikku. Jika kalian ada yang bertanya, tangan kiri ku masih dalam proses penyembuhan namun kondisinya sudah membaik. Semuanya telah berubah, termasuk satu hal ini.
“Aku ingin dirimu lebih dari segala kebahagiaan di dunia.”
UGH! Kenapa aku bilang itu ke dia ya? Duh, basi banget kaliya kata-kata ku waktu itu. Bahkan aku tidak bisa menyelamatkannya tanpa mempermalukan diriku. “Ampunn!!”, gerutuku setiap kali mengingatnya. Saat itu momennya sedang menegangkan, aku tahu Kina tidak mendengarnya, tapi mengapa aku masih saja merasa malu? Itu tidak terdengar seperti aku punya perasaan padanya kan? Ayolah, maksudku dia adalah sahabatku, yang tahu masa sulit dan bahagiaku, yang menemani seluruh perjalananku bukan hanya perjalanan dari desa kita menuju kemari melainkan seluruh perjalanan dari masa kecilku. Faktanya, aku memang belum pernah berhubungan dengan seseorang. Keluargaku sangat ketat, bahkan ayahku mungkin menyiapkan jodoh untukku melalui suatu perjanjian seperti yang biasa ia lakukan. Kupikir karena semua kemonotonan hidup yang kujalani lah yang membuat aku bahkan tak berusaha mencarinya. Semuanya sudah ditetapkan. Kalimat yang kuucapkan saat itu tak lebih dari sekadar kata yang keluar karena kepanikan, tak mau kehilangannya sebagai teman.
Tetapi,
Dia adalah satu-satunya orang mendapat perhatian ku saat kita semua berlatih mystical art. Senyum manisnya, kepercayaan dirinya, dan matahari yang entah bagaimana selalu memancarkan sinar padanya. Aku bisa merasakan semua energi positif ada padanya. Ia merupakan satu-satunya orang yang tidak takut untuk mengatakan apa yang ia inginkan, sedangkan aku duduk di sana dan mengikuti semua arahan dari keluarga serta semua pemuda yang dilatih juga mengikuti arahan dari pelatihnya. Aku ingat dulu ia pernah mengajakku bertarung meskipun ia tahu aku sudah terlatih di tingkat ahli. Aku tak pernah tenggelam dalam tatapannya karena aku menemukan kenyamanan di sana. Dari semua tempat di desa, aku memilih tempat favoritnya menjadi tempat untuk ku menenangkan pikiran karena kematian ibu. Mengapa? Karena aku tahu, seberapa dingin danau itu tetap akan terasa hangat karena keberadaannya. Kina selalu memperlakukan orang lain sama, cara ia melihat seseorang dengan orang lain tak ada yang berbeda. Tak ada diskriminasi yang terpancar dari sifatnya. Hatinya yang lembut menolong semua orang, ia bahkan rela melakukan apapun untuk menolongku. Tidak, ia akan rela mengerahkan seluruh tenaga dan sisa napasnya untuk menolong orang-orang yang ia sayangi. Ia sangat menyukai burung yeoli karena tak peduli sesering apa burung itu diburu, ia akan tetap setia pada manusia. Kemudian, sampai lah momen saat kita melihat Langit Tenggelam untuk pertama kalinya dari hutan di bukit, meskipun sebenarnya aku tidak mengingat bagaimana pemandangan kota saat itu. Betapa egoisnya aku, karena satu-satunya hal yang kuingat dari hari itu adalah, aku tak bisa berhenti melihat matanya yang berbinar lengkap dengan senyumnya merekah secerah lampu-lampu di kota.
Jadi, mungkin aku salah.
Mungkin kalimat yang kala itu ku ucap bukan hanya ungkapan untuk menyelamatkan seorang teman. Mungkin itu seluruh rasa takut kehilangan, mencari bantuan dengan penuh harapan. Mungkin itu adalah sebuah kejujuran. Mungkin semua itu adalah hal yang benar-benar aku inginkan. Mungkin itu adalah sebuah doa kepada Tuhan yang aku panjatkan. Mungkin itu bukanlah hanya pikiran, melainkan perasaan yang diungkapkan tidak hanya untuk dirinya tetapi juga diriku . Mungkin, tidak tidak, mungkin , ya itu adalah sebuah kebenaran.
Kebenaran bahwa aku mencintainya, Kina.
[Hati yang Tenggelam]
