
BOOK 1: THE FARTHEST
Chapter 1:
intro: CENTER OF SINGULARITY
Sudah tiga hari berjalan, namun matahari belum pernah absen sejak keberangkatan Ryusen dan Kinasle. Ia selalu menemani, beriringan dengan kedua orang yang sedang mencari kebahagiaan itu. Canda tawa yang ringan, tak berisi, bahkan terkadang tidak jelas, itu lah yang menemani perjalanan mereka selain matahari dan angin. Melintasi luasnya langit dengan penuh semangat membuat mereka tidak menyadari bahwa matahari sudah berada pada puncaknya. “Panas, lapar.” , gumam Asle sambil melihat sekeliling di atas awan.“ Ayo menepi, jangan menggumam saja. Untung aku dengar.”. Keduanya pun segera mendarat di salah satu tepi pulau yang tak kalah indah dengan pulau di mana desa mereka berada.
Masih ingat makan siang yang dibawa Asle? Tak mau jika makanan itu langsung habis, mereka lebih memilih untuk berburu burung demi makan siang. Beruntung Ryusen pergi bersama Asle, si anak pemburu. Ia tak perlu khawatir mengenai bagaimana caranya mendapat buruan di alam bebas. “Sudah menyala, sekarang kita tunggu saja dari belakang pohon itu. Burung senang melihat hal-hal yang hangat. Begitu mendekat, biarkan aku mengeluarkan ilmu mistikku.”, ucap Asle penuh keyakinan. “Aku tahu, kau kan anak pemburu. Jika tidak hebat dalam hal ini, wah perlu dipertanyakan nanti.”, balas Ryu sambil berjalan ke belakang pohon.
10 menit, 15 menit, tak kunjung ada burung menghampiri. Ryusen berbisik, "um-." " YA YA AKU TAU, TUNGGU SAJA DULU OKE!?", Asle juga sama frustasinya dengan Ryu. Hingga waktu kurang lebih sudah 30 menit, ada dua ekor burung yang saling mengejar terbang mendekati api unggun buatan Kinasle.
Mystical Art of Long-Range: Silent Venus
Asle dengan cepat mengumpulkan energi dan menjadikannya bak busur yang panjang. Ia lalu menembakkan dua anak panah ke burung itu. Yes, waktunya makan siang.
“Makanmu banyak sekali, Kin.” Bagaimana tidak, Kinasle memakan burung bakar bersama dengan setengah porsi bekal yang tadi ia bawa. “Kalau aku lemas, aku tidak bisa terbang. Mau apa kamu?”. Perlu diingat ya, jangan membuat Asle kesal ketika sedang makan. Ia tidak bisa diganggu gugat. Tapi hal tersebut pengecualian bagi Ryusen, ia sangat senang jika menggoda temannya itu. Kinasle menjadi galak, berisik, dan akan memarahi kalian sepanjang waktu bahkan sambil mengunyah dengan makanan yang penuh di mulutnya. “Kutinggal lah. Mau apa lagi? Berharap aku akan menggendongmu? Kita tidak berada di dunia princess, nyonya Kina.” Jika Ryusen mengatakan itu, berarti ia siap dengan apa yang selanjutnya dilakukan Kina padanya, satu toyoran di kepala. “Seperti bisa saja kau ke sana tanpa aku.”, ucap Asle sambil terus mengunyah, tak menyadari lepas itu Ryu mulai terdiam. Perkataan Asle benar-benar tepat sasaran. Asle lalu menghitung dalam hati, "5,4,3,2,1!", “Ya, kau benar. Aku tidak bisa. Aku terbiasa tinggal di zona nyaman, tempat yang jelas, kegiatan yang terstruktur, dan selalu melaksanakan kewajiban. Tidak seperti kau, terbang bebas setiap harinya. Semuanya berulang, berputar pada poros yang sama, ya disebut juga monoton, dan monoton itu adalah temanku.” Ryusen melihat awan, menatapnya lesu, pandangannya tak kosong namun seakan penuh harap sesuatu akan muncul di penglihatannya. "NAH INI DIA, RYUSEN VERSI EMOSIONAL!", ucap Asle dalam hati. "Ryu, kau baik-baik saja? Mau bicara sesuatu?", tanya Kina dengan lembut.
Kinasle sebenarnya tahu apa yang selanjutnya diucapkan Ryu, ia pasti sedang merindukan ibunya. “Jika saja ibuku masih ada, aku jadi punya teman lain selain kau dan rasa monoton itu. Jika saja saat itu aku lebih cekatan untuk memanggil dokter, daripada hanya terkejut dan menangis sedih melihatnya kesakitan. Jika saja aku menemaninya dari pagi, semuanya mungkin bisa diantisipasi. Jika saja aku lebih perhatian, mungkin aku bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengannya sebelum akhirnya pergi..”, Ryusen tak berkata-kata lagi. Sulit baginya untuk mengatakan sesuatu sembari menahan tangis. Ia lalu menarik napas, mengumpulkan energi, dan memfokuskan energinya pada jari jemari, ditulisnya kata "Jika saja" di tanah yang ia duduki. Ia menyesali semuanya saat ini.
“Ryu, ‘jika saja’ adalah dua kata yang penuh dengan pengharapan tapi cenderung yang terjadi adalah kebalikan. Ryu kecil tidak terlibat apapun dalam hal yang terjadi saat itu. Ryu kecil tetaplah Ryu kecil. Senang bermain, pintar, peduli terhadap sekitar, dan selalu mengejar hal yang membuatnya penasaran. Ryu kecil tetap lah seorang yang penyayang. Ada jalan lain yang telah disiapkan untuk ibu Ryu, yang sebelumnya tak ada orang yang tahu. Bahkan jika Ryu kecil melakukan semua hal yang disebutkan tadi, tak ada jaminan bahwa ibu Ryu tidak akan pergi. Ryu kecil ataupun Ryu saat ini tetap sama-sama tidak bisa mengontrol semua hal yang di luar kendali. Ialah takdir, yang bisa datang dan pergi tanpa kita antisipasi. Ryu, di dalam hidup kita tidak bisa mengatasi semua hal sendiri. Takdir akan selalu ada untuk memberikan petunjuk dan solusi. Sejak saat itu, ibu Ryu sudah tidak sakit lagi. Ia bisa tersenyum bahagia melihat Ryu kecil tumbuh dengan baik hingga saat ini. Meskipun berat, mempercayai takdir bukanlah suatu hal yang buruk, melainkan penting untuk kita yakini.”
“Aku masih ingat saat dulu kau sangat terpukul dan mendatangi danau setiap sore. Aku selalu di sana, kau tahu itu. Tempat favoritku, di mana aku bisa mengekspresikan diri ku sebebas mungkin. Di sana kau juga meluapkan segala kesedihanmu, menangis sekerasnya, berteriak, juga melempar batu-batu yang ada ke danau. Aku paham kau tak bisa meluapkan semua itu di rumahmu, karena kau harus menjaga citra dan kehormatan yang kau miliki bahkan di seluruh desa ini. Tapi ada satu hal lucu yang selalu kuingat. Ketika sudah lelah menangis, kau akan mencuci muka dengan air danau kemudian kembali menjadi Ryu yang dingin sedingin air danau itu, sambil mengulang gerakan-gerakan ilmu mistik jarak dekat yang kau pelajari setiap pagi. Aku seperti sedang menghadapi dua orang berbeda saat itu. Mungkin bagimu itu tidak lucu, tapi aku dapat melihat motivasimu di balik hal itu. Sebenarnya yang lucu itu ekspresi wajahmu sih, habis menangis seperti bayi lalu tiba-tiba menatap tajam seperti bisa memotong tali. Terlepas dari itu, aku salut padamu. Sungguh. Pemuda 18 tahun sudah lulus mempelajari ilmu mistik jarak dekat? Bahkan satu desa tak ada yang sepertimu. Kau harus bangga dan berterima kasih pada keluargamu. Tanpa kau sadari, hal-hal itu lah yang membuat Ryu kecil menjadi Ryu yang saat ini berada di hadapanku.”
Ryusen kembali menengadahkan wajahnya, menatap manik Kinasle. Senyum tipis terurai dan mata itu kembali hidup, “Biarkan aku bicara sekali lagi. Jika saja aku terlambat mempelajari semua itu, aku tak akan di sini bersamamu, Kina. Berpetualang mengejar kebahagiaan yang sesungguhnya, aku tak bisa membayangkan jika melakukan ini dengan orang lain. Aku bahagia karena orang yang kutemani, yang pergi bersamaku adalah kau, Kina.", Ucap Ryusen yang lalu berdiri dan mengulurkan tangannya untuk membantu Asle berdiri. Asle terkekeh karena itu, ia pun tersenyum lalu berdiri.
"Omong-omong, tadi itu percakapan yang sangat menggelikan.", Ryusen yang biasa sudah kembali.
"KENAPA AKU MEMBUANG-BUANG TENAGA UNTUK BICARA DENGANMU!"
